![]() |
| Ilustrasi Semar sebagai simbol rakyat jelata. (Generatif Gemini) |
BABAD.ID | Stori Loka Jawa - Dalam khazanah kebudayaan Jawa, di tengah hiruk pikuk intrik kekuasaan dan pertarungan heroik para ksatria, muncul sosok yang kontradiktif, misterius, dan tak tertandingi: Semar. Ia bukan sekadar pelawak atau abdi, melainkan penjelmaan Bathara Ismaya yang turun ke dunia (madyapada) untuk mengemban tugas suci sebagai pamong (pengasuh) para satria luhur, terutama Pandawa. Kendati hanya berstatus panakawan—derajat yang secara hierarki jauh di bawah tuannya—Semar adalah tokoh yang sarat kebijaksanaan, menguasai ilmu pengetahuan, dan memiliki wibawa luar biasa.
Kehadiran Semar dalam pakeliran wayang purwa menjadi lambang kekuatan moral yang melintasi batas-batas duniawi dan kahyangan. Ia dipuja sebagai simbol rakyat jelata (kawula alit), yang suaranya—meski disampaikan melalui lelucon dan kritik tajam—dianggap setara dengan suara Tuhan (Vox Dei). Fungsi utamanya adalah menjaga keseimbangan dunia (memayu hayuning bawana). Ketika tatanan sosial dan politik sedang mengalami krisis atau kekacauan, atau ketika para penguasa cenderung korup dan menyimpang, sosok Sang Pamomong Agung ini niscaya akan muncul.
Kontradiksi Penampilan Lahiriah yang Kasar vs. Budi Pekerti Luhur
Fisik Semar menyajikan paradoks yang radikal dalam etika Jawa, menentang anggapan bahwa kehalusan batin selalu terwujud dalam rupa yang rupawan. Semar digambarkan tambun, berkepala kecil, bermata rembes (berair), serta berperut dan berpantat besar. Ia bahkan dijelaskan sebagai sosok yang samar—bukan laki-laki dan bukan perempuan (hermaphrodit), dan sepintas figurnya bulat abstrak. Rupa lahiriahnya yang lucu dan seakan-akan tidak berarti justru membuatnya sering diremehkan oleh penguasa resmi.
Namun, di balik penampakan yang rural dan kasar itu, tersimpan batin yang amat halus, peka, dan lebih mulia dibandingkan para ksatria yang tampan. Filosofi di balik penampilan ini menunjukkan bahwa derajat kemanusiaan dan moral seseorang tidak diukur dari rupa yang tampan, melainkan dari sikap batin. Kehadiran Semar secara eksplisit meruntuhkan cita-cita priyayi yang mengidentifikasi kehalusan lahir sebagai jaminan batin yang baik. Sebagaimana dinyatakan oleh Franz Magnis Suseno (1996), “Wujud lahiriah Semar tidak menunjukkan keindahan, ia suka melepaskan angin-angin, namun batinnya amat halus, lebih peka, lebih baik dan lebih mulia dari ksatria-ksatria yang tampan itu” (Magnis Suseno, 1996: 54).
Fungsi Semar sebagai Mediator Politik dan Moral dalam Dinamika Kekuasaan
Semar bukan sekadar figur budaya, tetapi juga legenda dan mitos politik yang menempatkannya pada struktur kesadaran politik Jawa. Meskipun ia memilih konsisten berada di luar jabatan formal dan hidup di tengah rakyat kebanyakan, ia mampu mengontrol jalannya kekuasaan. Ia adalah "sosok kekuasaan tanpa lembaga formal dan struktur kekuasaan".
Kekuatan Semar bersumber dari otoritas moral dan spiritualnya, bukan kekuasaan fisik. Di kahyangan sekalipun, Semar sangat dihormati; Bathara Guru, Raja Dewa, tidak berani bertindak sembarangan di hadapannya. Semar memiliki wewenang untuk mengingatkan dan meluruskan Bathara Guru apabila menyimpang dari kewenangan.
Di Marcapada (dunia), Semar bertindak sebagai mediator politik dan penasihat spiritual. Saran-sarannya menjadi pertimbangan penting bagi raja secerdik Prabu Kresna. Ia dianggap sebagai kamus hidup dan pelita bagi Pandawa. Semar akan tampil ke muka publik dan terlibat dalam pergumulan kekuasaan secara terbuka ketika kekuasaan cenderung korup atau selingkuh, menegakkan moral dan etika kekuasaan sebagai sumber legitimasi. Semar melambangkan rakyat yang suaranya didengar oleh penguasa. “Semar adalah simbol rakyat yang hadir dalam kehidupan kenegaraan dan selalu menyampaikan aspirasinya kepada para pemimpin negara” (Solichin, 2010: 272).
Malapetaka Akibat Menghina Semar: Pelajaran dari Lakon Semar Kuning
Otoritas moral Semar tidak dapat diremehkan, dan mengabaikan atau menghinanya akan berujung pada malapetaka yang mengerikan. Kisah paling terkenal yang mengajarkan hal ini terangkum dalam Lakon Semar Kuning.
Dalam lakon tersebut, Prabu Kresna, Raja Dwaraka yang merupakan titisan Batara Wisnu, merasa dirinya terlalu bijaksana dan menolak dinasihati oleh panakawan rendah seperti Semar. Puncak penghinaan terjadi ketika Kresna membiarkan menantunya, Abimanyu, meludahi kuncung (rambut/jambul) Semar.
Konsekuensi dari keangkuhan dan penindasan terhadap Semar (simbol kawula alit) itu sangat fatal. Tindakan sewenang-wenang itu segera "mendatangkan kemarahan alam berupa datangnya banjir bah, tsunami dan badai yang menghancurkan seluruh istana Dwaraka". Kresna harus mengungsi karena istananya hancur. Pelajaran dari lakon ini, sebagaimana ditekankan oleh Ki Nartosabdo, adalah pentingnya menjunjung tinggi nilai kemanusiaan, melawan kemunafikan, dan menghindari sikap acuh tak acuh terhadap saran orang lain, terutama dari mereka yang dianggap rendah.
Semar, dengan segala misteri dan kontradiksinya, adalah penjaga hati nurani. Ia adalah rasa eling (kesadaran terdalam) yang memimpin dan melindungi manusia dari bencana. Ia mengingatkan bahwa kekuasaan sejati harus ambeg parama arta—mengutamakan keadilan dan kebijaksanaan—sebab pada akhirnya, kekuatan sejati berada di tangan rakyat atau suara rakyat adalah suara Tuhan. Kekuatan Semar adalah cerminan bahwa kekuasaan yang korup, bahkan jika didukung dewa, akan hancur lebur di hadapan kebenaran moral. Semar adalah simbol abadi bahwa kesederhanaan adalah sumber kearifan terbesar.***
