![]() |
| Semar bijak menasihati Arjuna di hutan mistis, dengan detail Wayang Purwa.(Generatif Gemini) |
BABAD.ID | Stori Loka Jawa - Dalam panggung pergelaran wayang purwa, tak ada sosok yang lebih misterius dan menginspirasi selain Kyai Lurah Semar. Ia bukanlah sekadar batur (abdi) yang derajatnya jauh di bawah para satria, melainkan penjelmaan Bathara Ismaya yang turun ke madyapada untuk menjadi pamong satria agung. Kehadiran Semar selalu dinanti, sebab pikiran, ucapan, dan tindakannya dianggap pantas diteladani dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Bagi para satria, Semar adalah figur yang waskitha ngerti sadurunge winarah—mahakarya kebijaksanaan yang tahu peta sosio kultural di Triloka (dewata, raksasa, dan manusia).
Bahkan dewa-dewa di Kahyangan pun takluk total kepadanya. Keberadaan Semar yang dianggap kawula pinandhita (kawula yang dianggap sebagai pendeta) ini semakin krusial ketika dunia batin ksatria utama, Arjuna, dirundung duka akibat cobaan hidup sepeninggal Prabu Pandhu Dewanata. Di tengah kegelapan hati Arjuna itulah, Sang Pamomong Agung tampil dengan wejangan luhur: Pancawisaya.
Intisari Ajaran Pancawisaya: Lima Bebaya yang Menguji Hidup Manusia
Pancawisaya adalah fondasi bagi laku tarak brata (tapa brata) seorang manusia. Semar menjelaskan bahwa Panca punika gangsal, wisaya punika bebaya (Panca itu lima, wisaya itu penghalang). Ini merujuk pada lima perkara yang menjadi lilitan atau penghalang hidup. Wejangan ini diberikan Semar kepada Arjuna (Permadi) yang hatinya sedang prihatin dan membutuhkan bantuan moral.
Kelima penghalang tersebut adalah:
1. Rogarda: Sakit yang menimpa tubuh (sakit ingkang sinandhang tumraping badan). Apabila ditimpa, Semar mengajarkan agar kita angestia temen, trima lan legawa (berusaha sungguh-sungguh, menerima dan rela hati).
2. Sangsararda: Sengsara yang menimpa tubuh (rekaos ingkang sinandhang tumraping badan). Dalam kondisi ini, seseorang harus angestia betah ngampah sarta lembah manah (menahan dan berbesar hati).
3. Wirangharda: Sakit yang menimpa hati (sakit ingkang sinandhang tumraping manah). Solusinya adalah angestia tata, titi, tatag tuwin ngatos-atos (tata, titi, kokoh pendirian serta berhati-hati).
4. Cuwarda: Sengsara yang menimpa hati (rekaos ingkang sinandhang tumraping manah). Jika ditimpa, berusahalah eneng-ening waspada tuwin enget (tenang, waspada serta ingat).
5. Durgarda: Hambatan yang menimpa hati (pakewed ingkang sinandhang tumraping manah). Kuncinya adalah percaya diri dan yakin terhadap kekuasaan Tuhan (angestia ngandel, netel tuwin kumandel dhateng panguwaosipun Sang Hyang Sukma Kawekas).
Wejangan mulia ini berhasil menenangkan pikiran dan hati Arjuna, membuatnya menjadi tabah dalam perjuangan hidup.
Lima Tingkat Jalan Menuju Hadirat Ilahi: Syariat hingga Mahabbah
Ajaran Pancawisaya yang terdiri dari lima butir itu secara filosofis berkaitan erat dengan olah jiwa atau jalan mistik Nusantara. Mistikisme, atau suluk dalam istilah Nusantara, adalah ilmu yang mempelajari cara bagaimana manusia dapat berada sedekat mungkin dengan Tuhan. Tujuan utamanya adalah mencapai kesadaran akan adanya komunikasi dan dialog antara roh manusia dengan Tuhan.
Jalan panjang menuju hadirat ilahi ini dibagi menjadi lima tingkatan spiritual, yang semuanya merupakan laku batin:
1. Syariat atau sembah raga.
2. Tarekat atau sembah kalbu.
3. Hakekat atau sembah jiwa.
4. Makrifat atau sembah rasa.
5. Mahabbah atau cinta suci (asmarasanta).
Tingkat Makrifat adalah pencapaian arif-wicaksana (dapat mengetahui sebelumnya segala yang akan terjadi) dan tidak akan pernah khilaf lagi. Namun, puncak dari perjalanan spiritual ini adalah tingkat Mahabbah, yaitu cinta kasih suci (asmarasanta), yang merupakan sarana untuk menerima Asmarasanta-Nya dan bersatu dengan-Nya.
Semar sendiri melambangkan kesadaran kita paling dalam (sejati), yang oleh orang Jawa disebut rasa eling. Rasa eling inilah yang menjadi pemimpin dan pelindung diri dari godaan dan bencana.
Semar sebagai Kawula Pinandhita: Pelita di Tengah Kegelapan Hidup Satria
Meskipun dalam struktur sosial wayang Semar hanyalah seorang panakawan—abdi dengan derajat jauh di bawah Arjuna—namun ia digambarkan sebagai tokoh yang luwes, bijaksana, dan menguasai ilmu pengetahuan. Kedudukan ini memberinya otoritas unik. Bahkan Bathara Guru di kahyangan pun sangat menghormati dan tidak berani sembarangan terhadap Semar. Hanya Semarlah yang berani mengingatkan dan meluruskan jalan hidup Bathara Guru jika ia menyimpang.
Di Marcapada (dunia), Semar berperan sebagai pamong, pendamping, dan penasihat para satria luhur. Para Pandawa menganggap Semar sebagai "kamus hidup dan pelita yang mampu menerangi sewaktu dirundung kegelapan". Karena kebijaksanaan dan kedalaman spiritualnya, ia disebut kawula pinandhita (hamba yang dianggap sebagai pendeta).
Semar, dengan perawakan tambun, kepala kecil, dan mata yang sering berlendir, sama sekali tidak menggambarkan citra kekuasaan formal, melainkan menampilkan wajah santun yang terkesan rural. Namun, kekuatan spiritualnya (kadigdayan) dapat memengaruhi keputusan di pusat kekuasaan dewata dan baru digunakan untuk membela mereka yang sengsara.
Sebagai simbol kebijaksanaan dan keadilan, Semar selalu berada di luar struktur politik formal, hidup di tengah rakyat jelata, namun memiliki kekuatan untuk mengontrol jalannya kekuasaan. Sosoknya mengajarkan bahwa derajat kemanusiaan dan moral tidak diukur dari rupa yang tampan atau sopan-santun lahiriah, melainkan oleh sikap batin. Semar adalah simbol bahwa rakyatlah sumber sebenarnya dari kekuatan, kesuburan, dan kebijaksanaan masyarakat Jawa. Kekuatan batin satria utama, sekelas Arjuna, menjadi hampir hilang artinya bila Pandawa hanya dapat menang karena kehadiran Semar.
Filosofi Semar, sebagai dewa yang menjelma menjadi kawulo alit, adalah pengingat abadi bahwa jalan menuju kesempurnaan dan kebenaran hakiki (Mahabbah) tidak memerlukan status atau kedudukan tinggi, melainkan ketulusan hati yang melampaui lima penghalang duniawi, yang diwujudkan melalui rasa eling. Dalam setiap kekacauan (gara-gara), kemunculan Semar seolah menjadi jangkar yang mengembalikan keselarasan. Sebagaimana air jernih yang tenang mampu memantulkan cahaya buana, rasa eling Semar menjadi cermin batin yang memandu setiap langkah satria di tengah gelapnya hawa nafsu.***
