BABAD.ID | Stori Loka Jawa - Pisuhan atau makian adalah kata tertentu yang dianggap kasar atau tabu untuk diucapkan.
Dalam bahasa Jawa, kosakata pisuhan banyak sekali.
Kata yang dijadikan pisuhan banyak sekali, misalnya nama binatang, organ tubuh, kondisi mental, dan sebagainya.
Meskipun fungsi pisuhan umumnya adalah untuk mengungkapkan kemarahan, tetapi fungsi pisuhan sesungguhnya bermacam-macam.
Bahkan, menurut penelitian, jumlah fungsi pisuhan bisa berbeda di tiap dialek bahasa Jawa.
Hal tersebut salah satunya diteliti oleh Sholihatin yang dituangkan dalam sebuah artikel yang berjudul Apakah Pisuhan Selalu Bermakna Negatif?: Fungsi Pisuhan Masyarakat Arek dan Masyarakat Mataraman.
Hasil penelitian Sholihatin menunjukkan bahwa jumlah fungsi pisuhan di bahasa Jawa dialek Mataraman dan Arekan berbeda.
Lantas, apa saja fungsi pisuhan pada masing-masih dialek bahasa Jawa tersebut?
Dialek bahasa Jawa mana yang memiliki jumlah fungsi pisuhan paling banyak?
Berikut penjelasan lengkapnya.
Fungsi Pisuhan di Dialek Mataraman
Pisuhan di dialek Mataraman memiliki 16 fungsi.
Fungsi pisuhan di dialek ini adalah untuk mengungkapkan rasa marah, sedih, senang, terkejut, ketidakpercayaan, keberanian, serta malu.
Tidak hanya itu, pisuhan juga digunakan ketika menghina, menegaskan sesuatu, memuji, menyapa, serta menasihati seseorang.
Tidak jarang, pisuhan juga digunakan untuk mencairkan suasana dan menunjukkan keakraban.
Pisuhan dapat pula digunakan saat membela diri.
Pisuhan juga digunakan karena dianggap gaul oleh penuturnya
Fungsi Pisuhan di Dialek Arekan
Pisuhan di dialek Areka memiliki jumlah fungsi yang lebih banyak, yakni 18.
Dari 18 jumlah fungsi tersebut, 16 di antaranya sama persis dengan di dialek Mataraman.
Adapun dua fungsi pisuhan yang tidak ada di dialek Mataraman adalah fungsi sebagai penunjuk identitas dan alat pemersatu.
Dua fungsi pisuhan tersebut khas dialek Arekan dan tidak ada di Mataraman.
Penyebab Perbedaan Jumlah Fungsi Pisuhan
Jumlah fungsi pisuhan di dua dialek bahasa Jawa tersebut tidak sama.
Pisuhan, khususnya jancuk, diakui oleh penutur bahasa Jawa dialek Arekan sebagai penunjuk identitas.
Uniknya lagi, pisuhan juga diakui oleh penutur bahasa Jawa Arekan sebagai alat pemersatu, misalnya saat mengobrol atau ketika mendukung tim sepak bola kesayangannya.
Dua fungsi tersebut tidak ada atau tidak diakui dalam bahasa Jawa dialek Mataraman.
Hal tersebut dapat ditelusuri penyebabnya.
Sholihatin berpendapat bahwa dua fungsi khas pisuhan tersebut dapat muncul dan diakui oleh penutur bahasa Jawa dialek Arekan karena budaya Arek memang menjunjung kesederajatan (egaliter).
Hal tersebut mendorong munculnya fungsi penunjuk identitasdan alat pemersatu pada pisuhan di dialek Arekan.
Hal ini berbeda sekali dengan budaya masyarakat Mataraman.
Menurut Sholihatin, masyarakat Mataraman berpandangan bahwa pisuhan merupakan sesuatu yang jauh dari kebiasaan orang kerajaan (keraton).
Guyub tutur bahasa Jawa Mataraman yang menurut Sholihatin masih kental dengan budaya keraton berusaha sebisa mungkin bertutur layaknya orang yang hidup di sekitar keluarga raja.
Dengan demikian, tingkatan bahasa masih sangat dijaga oleh guyub tutur ini.
Kesimpulan
Jumlah fungsi pisuhan dalam bahasa Jawa dialek Mataraman dan Arekan berbeda.
Secara kuantitatif, jumlah fungsi pisuhan dalam dialek Arekan lebih banyak dibandingkan Mataraman, yakni 16 (Mataraman) dan 18 (Arekan).
Fungsi khas pisuhan dalam dialek Arekan adalah sebagai penunjuk identitas dan alat pemersatu.
Penyebab munculnya fungsi khas tersebut adalah karena budaya Arek menjunjung kesederajatan.
Sementara itu, budaya guyub tutur bahasa Jawa Mataraman cenderung berkiblat pada tingkah laku keluarga kerajaan.
Referensi:
Sholihatin, E. (2013). Apakah Pisuhan Selalu Bermakna Negatif?: Fungsi Pisuhan dalam Masyarakat Arek dan Masyarakat Mataraman. Mozaik Humaniora, 13(2), 158–167.
Penulis: Mochtar Yoni Kuncoro, Mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Negeri Surabaya
