Kisah di Balik Tarian Indah Tari Bedhaya Bedhah Madiun yang Populer Masa Kepemimpinan Sri Sultan Hamengkubuwana VIII

Daftar Isi

BABAD.ID | Stori Loka Jawa - Tari Bedhaya, warisan seni Keraton Yogyakarta, masih tetap lestari hingga kini.

Tarian ini telah hadir ratusan tahun silam, tepatnya sejak masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwono I (1755-1792).

Para sultan yang berkuasa selalu berkontribusi dalam menciptakan dan melestarikan Tari Bedhaya, menjadikannya simbol kepemimpinan dan kekuasaan raja.

Keraton Yogyakarta juga memiliki beberapa Tari Bedhaya sakral, seperti Bedhaya Semang dan Bedhaya Sapta.

Salah satu yang populer di era Sultan Hamengkubuwono VIII adalah Tari Bedhaya Bedhah Madiun.

Kisah di Balik Gerakan Tari

Cerita Tari Bedhaya Bedhah Madiun tercatat dalam Serat Kandha dan Serat Pasindhen.

"Naskah tersebut mengisahkan Panembahan Senopati yang ingin memperluas wilayah kekuasaan Jawa ke arah timur, yaitu Madiun," seperti yang dijelaskan dalam (Indrasari, 2023).

Panembahan Senopati dan 200 prajuritnya berangkat ke Madiun.

Di sana, mereka menghadapi Panembahan Madiun, putra bungsu Sultan Trenggalek, yang merugikan Kerajaan Demak dan Pajang.

Menyadari maksud Panembahan Senopati, Kerajaan Madiun menyiapkan pasukan besar, menghentikan sementara serangan tersebut.

Panembahan Senopati berdiskusi dengan pamannya, Adipati Mandraka, tentang taktik yang akan digunakan.

Adi Sara, seorang abdi wanita cantik, diperintahkan untuk menyampaikan pesan palsu bahwa Senopati akan menyerah. Panembahan Madiun mempercayai tipu muslihat ini.

Namun, itu hanyalah taktik. Keesokan harinya, sebelum fajar, Panembahan Senopati melancarkan serangan mendadak dengan mengenakan bahu Kyai Gundhil dan menunggangi Kuda Puspa Kencana.

Senopati berhasil menaklukkan Kerajaan Madiun, bahkan mencapai Kerajaan Surabaya. Ia mengumpulkan senjata, seperti keris dan tombak, dari Kerajaan Madiun.

Selain itu, ia menikahi Ratna Dumilah, cucu raja terakhir Demak. Ratna memberikan syarat agar anaknya kelak menjadi raja di Madiun, yang disetujui Senopati.

Kisah ini mencerminkan petuah Jawa, "Nglurug tanpa bala, menang tanpa ngasorake" yang berarti "Berjuang tanpa massa, menang tanpa merendahkan lawan"

Tari Bedhaya merupakan warisan budaya Keraton Yogyakarta yang berakar sejak masa Sultan Hamengkubuwono I (1755-1792).

Tarian ini menjadi simbol kepemimpinan sultan dan atribut kekuasaan.

Beberapa tari Bedhaya dijadikan tarian pusaka, seperti Bedhaya Semang dan Bedhaya Sapta, sedangkan lainnya, seperti Bedhaya Bedhah Madiun, bersifat non-pusaka namun tetap bersejarah.

Bedhaya Bedhah Madiun menceritakan kisah Panembahan Senopati dalam upayanya memperluas wilayah Jawa ke Madiun.

Dengan strategi licik dan kepemimpinan yang bijaksana, ia berhasil menaklukkan Madiun dan bahkan menikahi Ratna Dumilah, cucu raja terakhir Demak, sebagai bagian dari kesepakatan politik.

Kisah ini menggambarkan filosofi Jawa “Nglurug tanpa bala, menang tanpa ngasorake” yang bermakna perjuangan tanpa kekerasan dan kemenangan tanpa merendahkan pihak lain.


Referensi:

Indrasari, R. (2023). Pasemoning Joged Bedhaya Madiun di Kraton Yogyakarta: Kajian Makna Simbolik. Masters Thesis, Institut Seni Indonesia Yogyakarta.


Penulis: Nadya Zuhri, mahasiswa Universitas Negeri Semarang yang belajar melestarikan budaya.

babad.id | Stori Loka Jawa
babad.id | Stori Loka Jawa babad.id | Stori Loka Jawa merupakan media online berbasis multimedia dengan konten utama seputar seni, budaya dan sejarah Jawa. Babad.id juga membuka ruang opini kepada penulis lepas.

Posting Komentar