Gpd6GfWoTSC5TSA9TpCoGUCoBY==
Anda cari apa?

Labels

Busana Solo Basahan: Simbol Kesuburan, Kemakmuran, dan Penyerahan Diri Total

Mengurai detail busana Solo Basahan, Paes, dodot Alas-alasan, dan perlengkapan pengantin yang melambangkan kemakmuran dan keteguhan iman.

Ilustrasi busana pengantin Surakarta gaya basahan. (generatif Gemini)
Ilustrasi busana pengantin Surakarta gaya basahan. (generatif Gemini)


BABAD.ID | Stori Loka Jawa - Di tengah hiruk pikuk modernitas, busana pengantin tradisional Jawa, khususnya Busana Solo Basahan, tetap berdiri tegak sebagai warisan budaya adiluhung yang kaya akan makna filosofi. Bukan sekadar pakaian, Solo Basahan—yang merupakan busana kebesaran Surakarta—adalah wujud permohonan atas kehidupan yang makmur, sentosa, dan penyerahan diri total kepada petunjuk Tuhan Yang Maha Esa.

Busana Basahan, yang dikenakan saat upacara Panggih atau resepsi, awalnya adalah gaya busana yang dipakai oleh putra-putri raja yang menikah di keraton. Busana ini dirancang khusus oleh Sri Susuhunan Pakubuwono II untuk menggantikan gaya Paes Ageng yang kala itu diminta oleh Pangeran Mangkubumi untuk Kasultanan Yogyakarta. Setiap detail riasan, penataan rambut, hingga aksesorisnya memuat pelajaran-pelajaran mendalam yang harus diketahui sepasang pengantin agar mampu membina rumah tangga yang harmonis dan sejahtera.

Paes Ageng dan Filosofi Cengkorongan Wajah Pengantin Putri

Riasan dahi, atau yang dikenal sebagai Paes, adalah elemen paling identik yang menjadi perlambang kecantikan sekaligus simbol membuang perbuatan buruk, menandai dimulainya perjalanan pengantin menuju kedewasaan. Menurut pandangan masyarakat Surakarta, pengantin putri diibaratkan seorang putri raja, sehingga riasannya meniru tata rias wajah putri keraton.

Paes Basahan, yang menggunakan warna hijau, dibentuk melalui pola kerangka atau cengkorongan yang terdiri dari empat bentuk utama: Gajahan, Pengapit, Penitis, dan Godeg. Setiap lekuknya menyimpan wejangan hidup:

1. Gajahan: Bentuknya seperti setengah bulat telur yang terletak di tengah pelipis. Bentuk ini mengandung makna agar pengantin mampu menjadi manusia yang berilmu.

2. Pengapit: Berbentuk kuncup bunga kantil, Pengapit memiliki makna agar pengantin mampu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk.

3. Penitis: Bentuknya seperti pucuk daun mangkokan bulat panjang. Filosofi Penitis adalah agar pengantin dapat memilih dengan tepat.

4. Godeg: Berbentuk kuncup bunga turi, riasan Godeg melambangkan harapan agar pasangan tersebut memiliki keturunan yang dapat melanjutkan ilmu dan kehidupan.

Dodot Motif Alas-alasan: Gambaran Kehidupan Baru yang Makmur

Komponen inti dari busana Solo Basahan adalah kain panjang yang disebut dodot atau kampuh, dengan pola batik gelap bermotif alas-alasan. Kata alas-alasan sendiri berarti hutan, dan motifnya menampilkan berbagai jenis binatang dan tumbuh-tumbuhan hutan.

Motif batik alas-alasan ini memiliki simbol kemakmuran dan kesuburan. Kain ini menggambarkan dunia atau alam sebelum ada apa-apa, melambangkan bahwa pengantin sedang memulai kehidupan baru—babad alas anyar (membuka hutan baru). Gambaran hutan ini juga mengingatkan bahwa hidup manusia diliputi dua kenyataan, yakni gelap dan terang, gembira dan susah. Filosofi yang terkandung di dalamnya mengajak pengantin untuk senantiasa merenung, mawas diri, arif, dan bijaksana dalam menjalani kehidupan yang penuh tantangan.

Cara mengenakan kampuh untuk pengantin pria dibuat dalam bentuk yang dinamakan ngumbar kunco, yang secara simbolis melambangkan bahwa seorang suami tidak boleh menyembunyikan sesuatu.

Perlengkapan Simbolis: Keris Ladrang dan Buntal

Perlengkapan yang menyertai busana Basahan juga dipenuhi makna simbolis mendalam, terutama keris bagi pengantin pria dan hiasan Buntal bagi pengantin putri.

Pengantin pria dilengkapi dengan Keris Warangka Ladrang. Keris ini dipakai di punggung (diselipkan pada sabuk), dan melambangkan kekuatan jiwa si pemakai, serta menunjukkan sikap sopan santun. Keris Ladrang pada upacara panggih dihiasi dengan Bunga Kolong Keris atau Bunga Gembiyok Keris. Rangkaian bunga melati dan mawar merah ini berfungsi sebagai pengingat agar pengantin pria tidak memiliki watak buruk seperti emosional, pemarah, egois, atau sewenang-wenang.

Sementara itu, pengantin putri mengenakan Buntal di pinggang, sebuah rangkaian hiasan bunga dan dedaunan yang panjangnya sekitar 140 cm. Daun-daunan pada buntal memiliki makna simbolis yang kuat:

• Daun Beringin melambangkan sebuah perlindungan (ngayomi).

• Daun Bayam melambangkan kedamaian (ayem).

• Bunga Melati melambangkan kesucian hati.

• Bunga Kantil melambangkan pengharapan akan kehidupan yang rukun (kumantil) hingga akhir hayat.

Busana Solo Basahan, yang terinspirasi dari gaya busana bangsawan dan raja di Keraton Kasunanan Surakarta, adalah contoh nyata bagaimana sebuah tata busana mengandung filosofi kehidupan yang begitu mendalam. Dari lekuk Paes yang mendidik kebijaksanaan hingga motif Alas-alasan yang mengajarkan kemakmuran dan keteguhan, Busana Solo Basahan merupakan warisan yang tak hanya indah dipandang, namun juga menjadi pedoman hidup bagi kedua mempelai dalam mengarungi bahtera rumah tangga.

Daftar Pustaka

Astri Wahyuni. (2015). Busana Pengantin Surakarta. PT. Gramedia Pustaka Utama.

Prajikno, Harsojo, S. A. D., Widyatmanto, B., & Ernowo, M. (1990). Arti Perlambang dan Fungsi Tata Rias Pengantin Dalam menanamkan Nilai-Nilai Budaya Daerah Jawa Tengah. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Kebudayaan.

Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah. (1978). Adat-Istiadat Daerah Jawa Tengah. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Penerbitan Buku Bacaan dan Sastra Indonesia dan Daerah.

Tim Penyusun. (1979). Adat dan Upacara Perkawinan Daerah Jawa Tengah. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya.

0Komentar

Tambahkan komentar

Info

  • Griya Lestari D3 12A, Ngaliyan, Kota Semarang
  • +628587503514
  • redaksibabad.id@gmail.com