![]() |
| Ilustrasi busana pengantin gaya Solo Basahan (kiri) dan Solo Puteri (kanan). (Generatif Gemini) |
BABAD.ID | Stori Loka Jawa - Busana pengantin tradisional Jawa bukan sekadar rangkaian kain dan perhiasan yang memukau mata, melainkan sebuah artefak budaya yang sarat dengan ajaran luhur (adiluhung). Khususnya di Surakarta (Solo), tata rias dan busana pengantin merupakan pelajaran-pelajaran mendalam bagi pasangan yang akan membina rumah tangga, yang diharapkan mampu membangun keluarga harmonis, sejahtera, dan tetap berpegang teguh pada petunjuk Tuhan Yang Maha Esa.
Setiap detail, mulai dari pola riasan dahi (paes) hingga motif batik yang melilit tubuh, memiliki perlambang khusus yang menjadi pedoman dalam kehidupan. Tradisi sakral ini, yang berakar dari lingkungan istana, menunjukkan betapa rumit dan kayanya filosofi hidup masyarakat Jawa.
Surakarta sebagai Kiblat Kebudayaan Jawa Tengah
Secara historis, Surakarta telah lama diakui sebagai bekas pusat pemerintahan dan kebudayaan Jawa pada masa silam. Pasca Perjanjian Giyanti pada tahun 1755, wilayah Mataram terpecah dan Surakarta bersama Yogyakarta ditetapkan sebagai pusat pemerintahan. Kota Surakarta, yang kemudian dikenal sebagai penerus Kerajaan Mataram Islam, dianggap sebagai salah satu pusat dan inti dari kebudayaan Jawa kuno.
Pengaruh budaya dan tradisi dari Keraton Kasunanan Surakarta dan Istana Mangkunegaran begitu kuat, meluas hingga ke daerah-daerah sekitarnya di Jawa Tengah. Bahkan, banyak masyarakat umum di luar lingkungan keraton yang cenderung meniru dan memilih gaya Surakarta karena dianggap indah, luwes, dan menarik. Tak heran jika Surakarta kini dijuluki sebagai Solo The Spirit of Java, karena mewarisi dan menjunjung tinggi nilai-nilai budaya Jawa.
Dua Gaya Utama: Solo Basahan vs. Solo Puteri
Busana pengantin Surakarta memiliki dua gaya baku yang telah dibakukan: Gaya Solo Basahan dan Gaya Solo Puteri. Kedua gaya ini, meskipun sama-sama diilhami dari busana para bangsawan, memiliki penggunaan dan makna simbolis yang berbeda dalam rangkaian upacara perkawinan.
1. Gaya Solo Basahan: Gaya ini merupakan busana kebesaran Surakarta dan umumnya dikenakan saat upacara panggih (pertemuan pengantin) atau resepsi (wilujengan). Detailnya cenderung lebih rumit dibandingkan Solo Puteri. Busana Basahan, yang sering menggunakan dodot atau kampuh motif alas-alasan, melambangkan wujud penyerahan diri total kepada kehendak Tuhan, serta menjadi simbol kehidupan yang makmur, sentosa, dan berpegang teguh pada ajaran Yang Maha Esa.
2. Gaya Solo Puteri (Kanigaran): Gaya ini ditujukan untuk digunakan pada saat akad nikah atau setelah upacara panggih. Gaya Solo Puteri lebih sederhana dan melambangkan wujud keramah-tamahan serta citra sopan santun masyarakat Jawa. Pengantin wanita dalam gaya ini mengenakan kebaya beludru panjang dan kain jarik batik.
Makna Simbolis: Harapan Hidup Bahagia dan Langgeng
Kekuatan busana pengantin Surakarta terletak pada lambang-lambang yang tersembunyi, yang semuanya merupakan wejangan hidup bagi kedua mempelai.
Pada tata rias wajah, Paes (lukisan pada dahi) melambangkan kecantikan dan dimaknai sebagai simbol membuang perbuatan buruk, menandai awal pengantin menuju kedewasaan. Bentuk godeg dalam riasan wajah Surakarta memiliki makna agar pengantin memiliki keturunan.
Dalam busana, motif kain menjadi pembawa pesan utama:
• Motif Alas-alasan (Basahan): Motif yang menampilkan gambaran binatang dan tumbuhan hutan ini melambangkan kesuburan dan kemakmuran. Filosofinya mengajak pasangan untuk arif dan bijaksana dalam menjalani kehidupan baru yang penuh tantangan, diibaratkan sebagai "hutan" kehidupan manusia.
• Motif Sido (Solo Puteri): Kain batik yang digunakan dalam Solo Puteri selalu berawalan sido, yang berarti "jadi" atau "terus-menerus". Motif ini mengandung harapan agar keluarga yang dibina terus-menerus mendapatkan kemuliaan. Misalnya, batik Sidomukti melambangkan harapan akan kebahagiaan, Sidoasih mengandung makna agar rumah tangga dilimpahi kasih sayang, dan Sidoluhur berharap agar pemakainya berbudi luhur.
Selain itu, setiap perlengkapan mengandung arti spesifik:
• Kebaya Beludru Hitam (Solo Puteri): Warna hitam pada kebaya beludru panjang ini melambangkan keabadian (langgeng), sebagai harapan agar pernikahan berlangsung terus selama hidup kedua mempelai.
• Keris Ladrang (Pengantin Pria): Keris yang diselipkan di bagian belakang sabuk melambangkan kekuatan jiwa si pemakai dan juga sopan santun.
• Buntal (Pengantin Wanita Basahan): Hiasan pinggang berupa rangkaian bunga melati yang melambangkan kesucian hati.
• Cunduk Mentul: Hiasan kepala ini melambangkan harapan agar pengantin mampu menghadapi kehidupan dengan bijaksana.
Meskipun saat ini banyak terjadi pergeseran dan modifikasi dalam tata rias pengantin, makna simbolis di balik detail busana Surakarta wajib diketahui oleh masyarakat untuk menjaga kelestarian budaya luhur ini. Penting bagi generasi penerus untuk memahami pakem yang sesungguhnya agar pesan moral warisan leluhur dapat ditanamkan dan menjadi pedoman dalam kehidupan rumah tangga.
Daftar Pustaka
Prajikno, dkk. (1990). Arti Perlambang dan Fungsi Tata Rias Pengantin dalam Menanamkan Nilai-nilai Budaya Daerah Jawa Tengah. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Inventarisasi dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya.
Prapantja. (1970). Wedding Ceremonials. Government Printing Office.
Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah. (1978). Adat-Istiadat Daerah Jawa Tengah. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Penerbitan Buku Bacaan dan Sastra Indonesia dan Daerah.
Kussunartini, I. & Prayekti, D. R. (2010). Ragam Pengantin di Jawa Tengah. Badan Arsip Provinsi Jawa Tengah.
Wahyuni, A. (2015). Busana Pengantin Surakarta. PT Gramedia Pustaka Utama.
%20dan%20Solo%20Puteri%20(kanan).%20(Generatif%20Gemini).png)