Mengenal Tradisi Megengan: Akulturasi Budaya Jawa dan Islam dalam Penyambutan Ramadhan

Daftar Isi

BABAD.ID | Stori Loka Jawa – Budaya Jawa memiliki berbagai tradisi yang diwariskan turun-temurun dan masih dipraktikkan hingga saat ini.

Salah satu tradisi yang cukup dikenal dan diperingati oleh masyarakat Jawa, terutama yang beragama Islam, adalah tradisi Megengan.

Tradisi ini merupakan bentuk penyambutan bulan suci Ramadhan yang biasanya dilakukan pada malam terakhir bulan Ruwah.

Megengan berasal dari kata "pegang" atau "menyapih," yang bermakna sebagai persiapan diri untuk memasuki bulan penuh berkah.

Tradisi ini juga merupakan hasil akulturasi antara budaya Jawa dan ajaran Islam yang mulai berkembang sejak masa Kerajaan Demak pada abad ke-16.

Baca Juga: Akulturasi Islam dengan Budaya Jawa pada Tradisi Sekaten di Keraton Yogykarta, Apakah Hanya Hiburan Semata?

Sejarah dan Pelaksanaan Tradisi Megengan

Megengan sudah ada sejak zaman Walisongo dan terus berkembang dalam masyarakat Jawa.

Tradisi ini menjadi bagian dari dakwah Islam yang dilakukan para wali dengan memasukkan unsur budaya lokal agar lebih mudah diterima oleh masyarakat.

Salah satu tokoh yang berperan dalam penyebaran Megengan adalah Sunan Bonang.

Pada masa itu, masyarakat berkumpul dalam acara duduk melingkar yang dikenal dengan Panca Makara, di mana mereka mengucapkan doa dan berbagi makanan sebagai simbol kebersamaan dan rasa syukur.

Saat ini, tradisi Megengan dilaksanakan oleh masyarakat di berbagai daerah dengan cara yang sedikit berbeda.

Baca Juga: Mengenal Apa Itu Tradisi Yasa Peksi Burak: Peringatan Isra Miraj di Keraton Yogyakarta

Masyarakat Jawa Timur menyebutnya dengan Megengan, sementara di Jawa Tengah dikenal sebagai tradisi Nyadran.

Pelaksanaan Megengan umumnya diawali dengan pembacaan doa dan tahlil bersama di masjid atau musholla setelah sholat Isya'.

Doa-doa ini ditujukan untuk para leluhur yang telah meninggal sebagai bentuk penghormatan dan pengiriman pahala.

Setelah itu, masyarakat membagikan makanan yang disebut "nasi berkat" kepada tetangga dan sesama warga sebagai simbol kebersamaan dan rasa syukur.

Baca Juga: Cara Keraton Yogyakarta Melestarikan Tradisi dan Budaya Melalui Trend di Indonesia, Salah Satunya dengan Flashmob

Makna Simbolik Tradisi Megengan

Tradisi Megengan tidak hanya menjadi sarana penyambutan bulan Ramadhan, tetapi juga memiliki berbagai makna simbolik yang dipercaya oleh masyarakat, antara lain:

1. Permohonan Maaf Antar Sesama

Salah satu elemen penting dalam tradisi Megengan adalah keberadaan kue apem.

Kue ini memiliki makna mendalam bagi masyarakat Jawa, yakni sebagai simbol permohonan maaf.

Kata "apem" diyakini berasal dari kata "ngafwan" atau "ngafwun" dalam bahasa Arab yang berarti "maaf."

Dalam tradisi ini, kue apem disajikan sebagai bentuk permohonan maaf sebelum memasuki bulan suci Ramadhan, di mana setiap individu berusaha untuk membersihkan diri dari dosa-dosa.

Baca Juga: Mengenal Tradisi Upacara Tarapan yang Masih Dilakukan para Putri Keraton Yogyakarta

2. Saling Berbagi dan Rasa Syukur

Megengan juga menjadi momen untuk berbagi rezeki dengan sesama.

Masyarakat biasanya menyiapkan nasi berkat, yang berisi nasi dan lauk pauk, lalu membagikannya kepada tetangga atau masyarakat sekitar.

Tradisi ini mencerminkan nilai gotong royong dan kepedulian sosial dalam masyarakat Jawa.

Berbagi makanan dalam Megengan juga mencerminkan sunnah Nabi Muhammad yang menganjurkan umat Islam untuk bersedekah, terutama menjelang Ramadhan.

Baca Juga: Mengenal Nasi Gandul: Keajaiban Rasa yang Menghubungkan Tradisi dan Modernitas

3. Melestarikan Tradisi Islam

Dalam konteks dakwah Islam, Megengan menjadi sarana untuk menjaga dan melestarikan nilai-nilai Islam dalam kehidupan masyarakat.

Tradisi ini tidak hanya berfungsi sebagai penyebaran agama Islam, tetapi juga sebagai pengingat bagi masyarakat tentang pentingnya ibadah, silaturahmi, dan doa bersama.

Meskipun berkembang dalam nuansa budaya lokal, nilai-nilai keislaman tetap dijaga dalam pelaksanaan Megengan.


Kesimpulan

Tradisi Megengan adalah salah satu bukti nyata akulturasi budaya Jawa dan Islam yang masih bertahan hingga saat ini.

Pelaksanaannya tidak hanya menjadi ajang penyambutan bulan Ramadhan, tetapi juga sarat dengan nilai-nilai sosial dan spiritual.

Melalui permohonan maaf, berbagi kepada sesama, dan penguatan nilai-nilai keislaman, Megengan menjadi tradisi yang memperkuat hubungan antarindividu dalam masyarakat.

Oleh karena itu, menjaga dan melestarikan tradisi ini adalah bentuk penghormatan terhadap warisan budaya dan nilai-nilai keislaman yang telah diwariskan oleh leluhur.


Sumber

Shyfya, Fauzi Himma. 2022. Makna Simbolik Dalam Budaya “Megengan” Sebagai Tradisi Penyambutan Bulan Ramadhan (Studi Tentang Desa Kepet, Kecamatan Dagangan). Jurnal Ilmiah Dinamika Sosial 6 (1).

 

babad.id | Stori Loka Jawa
babad.id | Stori Loka Jawa babad.id | Stori Loka Jawa merupakan media online berbasis multimedia dengan konten utama seputar seni, budaya dan sejarah Jawa. Babad.id juga membuka ruang opini kepada penulis lepas.

Posting Komentar