Filosofi Nama-nama Jalan di Sumbu Filosofi Keraton Yoguakarta: Jalan Margautama, Jalan Malioboro, Jalan Margamulya, dan Jalan Pangurakan

Daftar Isi

 BABAD.ID | Stori Loka Jawa - Adakah di antara sedulur yang belum pernah mendengar mengenai Jalan Maliabara?

Tentu tidak ya, hal ini karena Jalan Malioboro merupakan tempat yang terkenal khususnya bagi para wisatawan.

Selain dari betapa terkenalnya Jalan Malioboro, ternyata jalan tersebut memiliki makna filosofisnya sendiri.

Dalam artikel ini akan dijelaskan mengenai makna filosofis dari nama-nama jalan di wilayah Keraton Yogyakarta. Simak ulasannya di sini!

Konsep Sangkan Paraning Dumadi

Dikutip dari artikel Permadi yang berjudul “Empat Jalan Menuju Ketuhanan: Memahami Sumbu Filosofis Keraton Yogyakarta Dalam Perspektif Filsafat Kebudayaan”, Keraton Yogyakarta memiliki nilai budaya yang kuat.

Ada banyak hal yang dapat dibahas dari budaya Keraton Yogyakarta, salah satunya adalah mengenai jalan yang banyak dikenal oleh banyak orang. 

Jalan tersebut membentang dari Tugu Yogyakarta sampai dengan Keraton Yogyakarta. Jalan itu secara berurutan adalah Jalan Margautama.

Kemudian Jalan Malioboro sebagai pusat keramaian, Jalan Margamulya, dan Jalan Pangurakan.

Empat jalan utama ini adalah salah satu titik utama yang terdapat dalam Sumbu Filosofis Keraton Yogyakarta. 

Sumbu Filosofis Keraton Yogyakarta sendiri adalah sebuah sumbu berupa jalan yang membentang dari situs Panggung Krapyak, Keraton Yogyakarta, dan Tugu Yogyakarta. 

Sumbu Filosofis ini menyiratkan simbolisasi perjalanan manusia mulai dari lahir sampai dengan dewasa. 

Sumbu Filosofis ini erat kaitannya dengan konsep Jawa yang berbunyi konsep Sangkan Paraning Dumadi. 

Konsep Jawa ini mengajarkan bahwa setiap manusia harus memahami asal muasal dirinya dan hendak kemanakah dirinya akan berakhir.

Apabila dibedah secara lebih rinci konsep Sangkan Paraning Dumadi terdiri dari dua pengertian. 

Pertama, konsep Sangkaning Dumadi. Konsep ini menjelaskan perjalanan manusia yang berawal dari lahirnya manusia sampai dengan dewasa dan kemudian berkeluarga. 

Kedua, konsep Paraning Dumadi. Konsep kedua ini menyimbolkan tentang perjalanan manusia dewasa kembali menuju asalnya, yaitu Sang Maha Kuasa. 

Akulturasi antara kebudayaan Jawa, Islam, dan Hindu ini menjadi hal penting dalam upaya Islamisasi di tanah Jawa.

Perpaduan beberapa entitas ini disebut sebagai manifestasi dari istilah Islam Kejawen.

Tiga Jalan Sebagai Simbol Kehidupan Manusia

Konsep Sangkaning Dumadi dimulai dari situs Panggung Krapyak sampai dengan Keraton Yogyakarta. 

Kemudian konsep Paraning Dumadi diawali dari Tugu Yogyakarta menuju Keraton Yogyakarta. 

Dari Tugu Yogyakarta atau Tugu Golong Gilig menuju Keraton Yogyakarta akan melewati tiga jalan. 

Tiga jalan tersebut adalah: Jalan Margautama, Jalan Malioboro, dan Jalan Margamulya.

Tugu Golong Gilig adalah sebuah situs yang memiliki makna kebulatan tekad seorang manusia dewasa yang hendak mendekatkan diri kepada Sang Maha Kuasa. 

Untuk dapat mendekat dan bersatu dengan Sang Maha Kuasa yaitu Allah SWT, tidak bisa hanya berhenti pada keinginan belaka. 

Seseorang yang ingin mendekatkan diri kepada Sang Maha Kuasa harus bersedia melalui berbagai tahap kehidupan. 

Tiga tahap itulah yang kemudian disimbolkan dengan Jalan Margautama, Jalan Malioboro, dan Jalan Margamulya.

Jalan Margautama

Jalan pertama setelah melewati situs Tugu Golong Gilig atau Tugu Yogyakarta adalah Jalan Margautama. 

Jalan ini membentang sejauh kurang lebih 750 meter dari Tugu Yogyakarta sampai dengan teteg kereta api Stasiun Tugu Yogyakarta. 

Kata Margautama tersusun dari dua kata. Marga yang memiliki arti jalan. Dan Utama yang bermakna keutamaan. 

Sehingga apabila disusun menjadi satu memiliki makna jalan menuju keutamaan. 

Jalan Margautama adalah sebuah jalan yang memiliki simbolisasi seseorang yang telah bertekad untuk mendekatkan diri kepada Sang Pencipta harus dapat memahami keutamaan hidup. 

Dan tidak sampai disitu saja, lebih dari itu orang tersebut harus mampu menjalankan keutamaan tersebut.

Seseorang dalam upaya mendekatkan diri kepada Sang Pencipta tidak bisa hanya menghafalkan dan memahami bahwa sedekah itu baik misalnya. 

Tetapi seseorang juga harus mampu mengimplementasikan sedekah tersebut ke dalam kehidupannya. 

Seseorang tidak boleh berhenti hanya memahami bahwa menghindarkan diri dari perbuatan dosa itu wajib, sedangkan dirinya masih membahas keburukan orang lain. 

Dirinya bukan hanya sebatas memahami perbuatan dosa itu apa saja, tetapi juga mampu menjaga dan menahan diri agar terhindar dari perbuatan dosa.

Jalan Malioboro

Setelah melewati Jalan Margautama, jalur selanjutnya adalah melewati jalan yang diberi nama oleh Pangeran Mangkubumi sebagai Jalan Malioboro. 

Jalan ini membentang dari teteg kereta api Stasiun Tugu sampai dengan perempatan toko Terang Bulan sejauh 300 meter. 

Jalan Malioboro terdiri dari dua kata. Yaitu kata Malia yang berarti jadilah wali. Dan kata Bara yang berasal dari kata ngumbara yang bermakna mengembara. 

Maka dari itu secara etimologi kata Malioboro memiliki makna jadilah seorang wali yang bersedia berkelana. 

Versi lainnya menyatakan bahwa Malioboro berakar kata dari Malih yang berarti berubah. Serta Obor yang bermakna obor. 

Jadi Maliabara juga dimaknai sebagai berubahlah dengan hidup membawa obor kehidupan yang telah diajarkan oleh para wali.

Jalan Margamulya

Jalan selanjutnya setelah melewati Jalan Margautama dan Malioboro adalah Jalan Margamulya. 

Jalan Margamulya ini berjarak kurang lebih 550 meter dari Toko Terang Bulan sampai dengan titik nol kilometer Kota Yogyakarta. 

Kata Margamulya pun juga sama, terdiri dari dua kata. Kata Marga berarti jalan, dan kata Mulya yang memiliki makna kemuliaan. 

Margamulya menyimbolkan ketika seorang individu mampu menjalani kehidupannya dengan berpegang teguh pada ajaran para wali, individu tersebut akan memperoleh kemuliaan.

Jalan Pangurakan

Setelah melewati Jalan Margamulya, jalan selanjutnya yang akan dilalui oleh seorang manusia dewasa yang hendak mendekat pada Allah adalah Jalan Pangurakan. 

Kata Pangurakan berakar kata dari urak atau nggusah, di mana kata ini berarti mengusir. 

Jalan ini melambangkan seorang manusia yang hendak mendekat pada Allah SWT harus mampu mengusir nafsu negatif yang ada pada dirinya agar bersih. 

Lalu pada akhir jalan ini akan terdapat dua pohon beringin yang dinamai Wok dan Jenggot. 

Dua pohon beringin tersebut menjadi simbol ilmu sejati yang bersifat lembut dan rumit seperti halnya Wok dan Jenggot. 

Ilmu inilah yang akan menjadi pegangan seorang manusia untuk menghadap kepada Sang Pencipta, yaitu Allah SWT.

Tantangan Perjalanan Kehidupan Manusia

Sepanjang perjalanan dari Jalan Margautama, Jalan Malioboro, dan Jalan Margamulya terdapat setidaknya dua godaan yang akan menanti seseorang yang akan berusaha mendekatkan diri kepada Sang Maha Pencipta. 

Dua godaan yang menanti seseorang tersebut disimbolkan dengan keberadaan Kompleks Kepatihan dan juga kompleks Pasar Beringharjo. 

Dua kompleks bangunan tersebut memiliki simbol godaan pada diri manusia yang akan selalu dihadapi seseorang.

Simbol godaan pertama adalah berasal dari kompleks bangunan Kepatihan. Pada zaman dahulu, kompleks Kepatihan difungsikan sebagai Istana Kepresidenan. 

Karena hal itulah maka kompleks Kepatihan dijadikan simbolisasi dari godaan derajat.

Pangkat duniawi akan senantiasa menghadang tujuan seorang individu ketika berusaha untuk mendekatkan diri pada perintah agama atau Sang Maha Pencipta.

Godaan kedua adalah yang disimbolkan dengan kompleks bangunan Pasar Beringharjo. 

Pasar Beringharjo sendiri hingga kini masih difungsikan sebagaimana awalnya, yaitu sebagai tempat terjadinya transaksi oleh masyarakat setempat. 

Pasar Beringharjo ini adalah manifestasi dari lambang godaan nafsu syahwat. 

Godaan nafsu syahwat ini harus dapat dihindari oleh seorang individu yang tengah berusaha untuk dapat manunggal dengan Sang Maha Pencipta yaitu Allah SWT.

Konsep Sangkan Paraning Dumadi ini menjadi simbol kehidupan manusia sejak lahir hingga mendekat kepada Tuhan.

Makna filosofis ini disimbolkan melalui empat jalan utama di Keraton Yogyakarta yaitu Jalan Margautama, Maliabara, Margamulya, dan Pangurakan.


Referensi

Permadi, D.P. (2024). Empat Jalan Menuju Ketuhanan: Memahami Sumbu Filosofis Keraton Yogyakarta Dalam Perspektif Filsafat Kebudayaan. NUANSA: Jurnal Penelitian Ilmu Sosial dan Keagamaan Islam, 21 (1), 1-20. 


Penulis: Fauzan Ansori, Mahasiswa Teknologi Pendidikan UNNES sekaligus penggemar keluarga Keraton Yogyakarta.

babad.id | Stori Loka Jawa
babad.id | Stori Loka Jawa babad.id | Stori Loka Jawa merupakan media online berbasis multimedia dengan konten utama seputar seni, budaya dan sejarah Jawa. Babad.id juga membuka ruang opini kepada penulis lepas.

Posting Komentar