Ketegangan Sejarah: Konflik antara Kesultanan Yogyakarta dan VOC di Akhir Abad ke-18
YOGYAKARTA, BABAD.ID | Stori Loka Jawa - Pada akhir abad ke-18, Indonesia, khususnya Jawa, mengalami dinamika politik yang kompleks akibat intervensi kolonial Belanda.
Salah satu peristiwa penting dalam sejarah ini adalah ketegangan antara Keraton Yogyakarta dan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC).
Artikel ini dikutip dari Jurnal Universitas Indonesia oleh Marihandono, D. (2008). Dan akan membahas latar belakang, peristiwa-peristiwa kunci, dan dampak dari konflik ini, serta bagaimana peristiwa tersebut membentuk identitas dan kedaulatan lokal.
Latar Belakang Sejarah
Kondisi politik di Jawa pada akhir tahun 1780-an sangat tegang, terutama antara Kesultanan Yogyakarta dan Surakarta.
VOC berusaha mengendalikan kekuasaan lokal dengan memanfaatkan perpecahan di antara kerajaan-kerajaan Jawa.
Dalam konteks ini, VOC tidak hanya berfungsi sebagai pedagang, tetapi juga sebagai kekuatan politik yang berusaha menguasai wilayah dan sumber daya.
Setelah wafatnya Sunan Paku Buwono III pada 26 September 1788, putra mahkota RM. Subadyo diangkat menjadi Sunan Paku Buwono IV.
Sunan PB IV dikenal memiliki sikap anti-Belanda, yang membuatnya menjadi ancaman bagi kepentingan VOC di Surakarta.
Sikapnya ini menciptakan ketegangan yang semakin dalam antara VOC dan kerajaan-kerajaan lokal, di mana VOC berusaha untuk mengendalikan situasi demi kepentingan mereka.
Baca Juga: Kisah Sri Sultan Hamengkubuwana II Sebelum Menjadi Raja Yogyakarta: Perjalanan Hidupnya Tidak Mudah!
Rencana Konspirasi dan Ketegangan yang Meningkat
Pada September 1790, Sunan PB IV terlibat dalam rencana untuk membunuh orang-orang Belanda di Surakarta. Rencana ini terungkap, menyebabkan VOC meningkatkan pengawasan terhadap Kesunanan Surakarta.
Ketegangan ini semakin memperburuk hubungan antara penguasa lokal dan VOC, yang merasa terancam oleh rencana tersebut, sehingga VOC merespons dengan mengintensifkan kontrol mereka terhadap Surakarta dan Yogyakarta.
Dalam situasi ini, VOC meminta bantuan dari Kesultanan Yogyakarta dan Mangkunegaran untuk menghadapi ancaman dari Sunan PB IV.
Kerjasama ini menandai momen penting dalam hubungan antara kerajaan-kerajaan Jawa dan VOC, di mana mereka berusaha untuk saling mendukung dalam menghadapi ancaman bersama.
Hal ini juga menunjukkan bagaimana VOC memanfaatkan perpecahan di antara kerajaan untuk memperkuat posisinya dan mengurangi kekuatan Sunan PB IV.
Baca Juga: Kisah Sri Sultan Hamengkubuwana II Sebelum Menjadi Raja Yogyakarta: Perjalanan Hidupnya Tidak Mudah!
Kenaikan Sultan Hamengkubuwana II
Setelah kematian Sri Sultan HB I pada 24 Maret 1792, RM Sundoro diangkat menjadi Sultan Hamengku Buwono II pada 2 April 1792.
Sri Sultan HB II memiliki sifat anti-kolonial yang semakin jelas dan bertekad untuk memperkuat kedudukan Kesultanan Yogyakarta.
Ia berusaha untuk mengembalikan kekuatan dan kedaulatan kraton, serta menegaskan identitas Yogyakarta di tengah tekanan kolonial.
Sri Sultan HB II menolak intervensi Belanda dalam urusan kraton dan berusaha untuk mempertahankan kedaulatan Kesultanan Yogyakarta.
Penolakan ini menciptakan ketegangan lebih lanjut antara Kesultanan Yogyakarta dan VOC, yang merasa terancam oleh sikapnya.
Sri Sultan HB II berupaya membangun aliansi dengan kerajaan-kerajaan lain untuk melawan dominasi VOC, termasuk menjalin hubungan dengan Mangkunegaran dan kerajaan-kerajaan kecil lainnya.
Kebijakan Daendels dan Pemberontakan Ronggo
Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels mengubah hubungan antara pemerintah kolonial dan raja-raja Jawa.
Ia menghapus jabatan residen dan menggantinya dengan minister, memberikan kekuasaan lebih besar kepada pejabat kolonial.
Kebijakan ini menambah ketegangan dengan penguasa lokal yang merasa terpinggirkan dan kehilangan kekuasaan, serta menciptakan ketidakpuasan di kalangan rakyat.
Ketegangan memuncak dengan pemberontakan Ronggo Prawirodirjo, yang dianggap sebagai ancaman bagi kekuasaan Belanda.
Ronggo, yang merupakan tokoh penting di Yogyakarta, memimpin perlawanan terhadap kebijakan kolonial.
Pemberontakan ini dipicu oleh ketidakpuasan terhadap kebijakan Daendels yang dianggap merugikan rakyat, dan setelah pemberontakan tersebut, Ronggo ditangkap dan dieksekusi, yang semakin memperburuk hubungan antara Kesultanan Yogyakarta dan VOC.
Penggulingan Sultan HB II dan Pengasingan
Sri Sultan HB II akhirnya diturunkan dari tahta oleh Daendels dan di asingkan ke Pulau Penang. Pengasingan ini menandai perubahan besar dalam struktur kekuasaan di Yogyakarta, di mana kekuasaan kolonial semakin dominan.
Hal ini juga menciptakan kekosongan kepemimpinan yang mempengaruhi stabilitas daerah dan menimbulkan ketidakpuasan di kalangan rakyat, yang merasa kehilangan pemimpin yang berjuang untuk kedaulatan mereka.
Selama masa pengasingan, Sultan HB II tetap berusaha untuk mendapatkan dukungan dari rakyat dan berencana untuk kembali ke Yogyakarta.
Setelah Inggris mengambil alih, Sultan HB II dikembalikan ke Yogyakarta, di mana ia berusaha untuk memulihkan kekuasaannya di tengah ketegangan yang terus berlanjut. Namun, tantangan dari kekuatan kolonial tetap ada, dan ia harus berhadapan dengan situasi politik yang semakin rumit.
Akhir Hidup Sultan HB II
Sultan HB II wafat pada 2 Januari 1828, setelah mengalami berbagai tekanan politik dan konflik internal. Kematian Sultan HB II menandai akhir dari era ketegangan antara Kesultanan Yogyakarta dan kekuatan kolonial.
Warisan kepemimpinannya tetap dikenang dalam sejarah Yogyakarta, di mana ia dianggap sebagai simbol perlawanan terhadap kolonialisme. Masyarakat Yogyakarta mengenang Sultan HB II sebagai pemimpin yang berjuang untuk kedaulatan dan identitas mereka di tengah ancaman dari kekuatan asing.
Kesimpulan
Konflik antara Kesultanan Yogyakarta dan VOC pada akhir abad ke-18 mencerminkan dinamika politik yang kompleks di Jawa.
Peristiwa-peristiwa ini menunjukkan bagaimana Sultan Hamengku Buwono II mempertaruhkan segala hal untuk mempertahankan kedaulatan di tengah tekanan dari kekuatan kolonial.
Meskipun menghadapi banyak tekanan dan konflik, warisan kepemimpinannya sebagai simbol perlawanan tetap dikenang.
Referensi
Marihandono, D. (2008).Sultan Hamengku Buwono II: Pembela tradisi dan kekuasaan Jawa. Makara, Sosial Humaniora, 12(1), 27-38. Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia.
Atribusi : Rian Aryandani, Mahasiswa Teknologi Pendidikan sekaligus penggemar budaya dan sejarah Nusantara
Posting Komentar