Kisah Sri Sultan Hamengkubuwana II Sebelum Menjadi Raja Yogyakarta: Perjalanan Hidupnya Tidak Mudah!
YOGYAKARTA, BABAD.ID | Stori Loka Jawa - Sri Sultan Hamengkubuwana II, lahir pada Maret 1750 di lereng Gunung Sindoro, daerah Kedu Utara. Nama "Sundoro" diambil dari nama tempat kelahirannya. I
Ia adalah putra Pangeran Mangkubumi dengan nama kecil RM Sundoro.
Meskipun terlahir sebagai putra raja, masa kecil Sri Sultan Hamengkubuwana II tidaklah penuh dengan kemewahan.
Ayahnya sedang terlibat dalam perjuangan melawan VOC dan Kerajaan Mataram di bawah Sunan Pakubuwana III, sehingga ia lebih banyak diasuh oleh ibunya, Kanjeng Ratu Kadipaten.
Dikutip dari Artikel penelitian Marihandono (2008), beginilah serangkaian perjalanan Sri Sultan Hamengkubuwana II, sebelum menjadi Raja
Masa Kecil yang Sulit
Sejak lahir hingga usia lima tahun, Sri Sultan tidak pernah bertemu dengan ayahnya karena Pangeran Mangkubumi terlibat dalam pertempuran yang meluas.
Dalam kondisi pengungsian, beliau dibesarkan oleh ibunya, yang berusaha memberikan pendidikan dan nilai-nilai yang baik.
Pengalaman hidup yang keras ini membentuk karakter beliau menjadi sosok yang tegas dan berani, meskipun ia tidak menikmati kehidupan layaknya seorang pangeran.
Perjanjian Giyanti dan Awal Karier
Perjuangan Pangeran Mangkubumi berakhir dengan ditandatanganinya Perjanjian Giyanti pada 13 Februari 1755.
Perjanjian ini membagi Kerajaan Mataram menjadi dua bagian: satu di bawah kekuasaan Sunan Pakubuwana III di Surakarta dan satu lagi di bawah Pangeran Mangkubumi yang menjadi Sri Sultan Hamengkubuwana I di Yogyakarta.
Setelah peristiwa ini, Sri Sultan Hamengkubuwana I membangun kompleks kraton baru di Yogyakarta dan membawa seluruh keluarganya, termasuk putranya, untuk tinggal di kraton. Ini menandai awal kehidupannya sebagai putra raja di lingkungan keraton.
Baca Juga: 5 Fakta Sejarah Terbentuknya Surakarta dan Yogyakarta dalam Perjanjian Giyanti
Penunjukan Sebagai Putra Mahkota
Sri Sultan Hamengkubuwana I menunjukkan kecintaan dan kepercayaan yang besar kepada putranya. Pada tahun 1758, saat putranya dikhitan, Sri Sultan Hamengkubuwana I secara resmi menunjuknya sebagai putra mahkota.
Penunjukan ini bukan hanya simbolis, tetapi juga mencerminkan harapan Sultan bahwa putranya akan menjadi penerus yang mampu menjaga dan melanjutkan perjuangan Kesultanan Yogyakarta.
Sri Sultan Hamengkubuwana I menyadari bahwa pengalaman hidup Sri Sultan Hamengkubuwana II di pengungsian telah membentuknya menjadi pribadi yang keras dan tegas, yang diperlukan untuk menghadapi tantangan di masa depan.
Ketegangan Politik dan Usaha Menikah
Seiring bertambahnya umur Sri Sultan Hamengkubuwana II, raja pertama Yogyakarta itu mulai memikirkan calon pendamping hidup untuk putranya.
Ia berencana menjodohkannya dengan putri Sunan Pakubuwana III.
Harapan ini muncul dari keinginan untuk meredakan ketegangan politik antara Kesultanan Yogyakarta dan Kesunanan Surakarta.
Namun, usaha ini gagal karena campur tangan Pangeran Adipati Mangkunegoro I, yang juga menginginkan putri yang sama. Kegagalan ini memperburuk hubungan antara kedua kerajaan, yang sebelumnya sudah tegang akibat sengketa perbatasan.
Baca Juga: Babad Giyanti: Karya Sastra Jawa yang Menguak Kejadian Peperangan Masa Kerajaan di Jawa
Sengketa Perbatasan dan Konflik
Sengketa perbatasan antara Keraton Yogyakarta dan Kesunanan Surakarta menjadi masalah yang semakin rumit. Pembagian wilayah yang diatur dalam Perjanjian Giyanti tidak didasarkan pada batas-batas alam, melainkan pada elit setempat yang berkuasa.
Hal ini menyebabkan tumpang tindih wilayah dan sering memicu konflik horizontal di kalangan masyarakat.
Ketegangan ini berlangsung hampir dua puluh tahun dan baru berakhir dengan perjanjian yang difasilitasi oleh Gubernur VOC van den Burgh pada 26 April 1774 di Semarang, yang mempertegas batas wilayah masing-masing raja.
Mendapat Ancaman dari VOC
Sri Sultan Hamengkubuwana II mulai menyadari bahwa kekuasaan dan wilayah raja-raja Jawa semakin menyusut, sementara kekuasaan VOC semakin meluas.
Intervensi VOC dalam kehidupan kraton semakin meningkat, dan mereka mulai mengeksploitasi sumber daya ekonomi yang dimiliki oleh raja-raja Jawa.
Tekanan ekonomi dan politik dari VOC semakin intensif, terutama setelah kondisi fisik Sri Sultan Hamengkubuwana I dan Sunan Paku Buwono III menurun setelah tahun 1780.
Hal ini menumbuhkan kebencian Sri Sultan Hamengkubuwana II terhadap VOC dan pihak asing yang dianggap sebagai ancaman bagi kedaulatan dan kehormatan Kesultanan Yogyakarta.
Beliau bertekad untuk melindungi tanah airnya dari pengaruh asing yang merusak.
Sebagai putra mahkota, Sri Sultan Hamengkubuwana II mulai merencanakan langkah-langkah strategis untuk memperkuat posisi Kesultanan Yogyakarta.
Ia berusaha membangun aliansi dengan kerajaan-kerajaan lain di Jawa untuk menghadapi ancaman VOC.
Selain itu, RM Sundoro juga berfokus pada penguatan pertahanan kraton dengan memperbaiki sistem keamanan dan membangun infrastruktur yang diperlukan untuk melindungi wilayahnya.
Peran dalam Pemerintahan
Setelah Sri Sultan Hamengkubuwana I meninggal pada tahun 1792, Sri Sultan Hamengkubuwana II diangkat menjadi raja.
Dalam masa pemerintahannya, ia berusaha untuk meneruskan visi ayahnya dan memperkuat kedudukan Kesultanan Yogyakarta.
Sri Sultan Hamengkubuwana II menerapkan kebijakan yang lebih mandiri dan berusaha mengurangi ketergantungan pada VOC.
Ia juga berupaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui program-program pembangunan dan pertanian.
Sri Sultan Hamengkubuwana II dikenal sebagai pemimpin yang berani dan visioner.
Ia meninggalkan warisan yang kuat bagi Kesultanan Yogyakarta, termasuk penguatan identitas budaya dan politik.
Meskipun menghadapi banyak tantangan, kepemimpinannya menjadi fondasi bagi generasi berikutnya untuk terus berjuang mempertahankan kedaulatan dan kehormatan Yogyakarta.
Kesimpulan
Sri Sultan Hamengkubuwana II tumbuh dalam masa sulit dan penuh konflik, membentuknya sebagai sosok tegas.
Setelah menjadi putra mahkota, ia menyadari ancaman dari VOC dan, saat naik takhta, berusaha memperkuat kedaulatan Yogyakarta dengan strategi politik dan kebijakan mandiri.
Kepemimpinannya yang berani menjadi fondasi bagi perjuangan Kesultanan di masa mendatang.
Referensi
Marihandono, D. (2008). Sultan Hamengku Buwono II: Pembela tradisi dan kekuasaan Jawa. Makara, Sosial Humaniora, 12(1), 27-38. Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia.
Atribusi : Rian Aryandani, Mahasiswa Teknologi Pendidikan sekaligus penggemar budaya dan sejarah Nusantara
Posting Komentar