Memaknai Jalan yang Terbentang dari Tugu Jogja Menuju Keraton Yogyakarta: Jalan Margautama, Jalan Malioboro, Jalan Margamulya, dan Jalan Pangurakan
BABAD.ID | Stori Loka Jawa - Tentunya sedulur sudah mengetahui mengenai Jalan Maliabara ya.
Jalan Malioboro ini merupakan salah satu tempat yang menjadi sasaran bagi para wisatawan.
Selain Jalan Malioboro, terdapat 3 jalan lainnya yang memiliki sejarah kebudayan dan makna filosofis di baliknya.
Dalam artikel ini akan dijelaskan mengenai makna kebudayaan melalui jalan dari Tugu Jogja menuju Keraton Yogyakarta. Simak ulasannya di sini!
Tahap Perkembangan Budaya
Dikutip dari artikel Permadi yang berjudul “Empat Jalan Menuju Ketuhanan: Memahami Sumbu Filosofis Keraton Yogyakarta Dalam Perspektif Filsafat Kebudayaan”, budaya memiliki pengaruh penting dalam aspek kehidupan.
Kebudayaan dimaknai sebagai segala yang saling berhubungan satu sama lain. Kebudayaan tersebut memiliki setidaknya tujuh hal utama.
Tujuh hal tersebut diantaranya adalah bahasa, sistem pengetahuan, organisasi sosial, sistem instrumen hidup, sistem pekerjaan, sistem religi, serta kesenian.
Setiap tujuh hal tersebut pada ujungnya nanti akan termanifestasikan ke dalam tiga wujud kebudayaan seperti halnya sistem kebudayaan, sistem sosial, dan kebudayaan fisik.
Dalam unsur sistem religi misalnya, manifestasi yang muncul sebagai bagian dari sistem keyakinan adalah adanya pemaknaan terhadap Tuhan, maupun hal-hal metafisika lainnya.
Unsur-unsur kebudayaan tersebut pada akhirnya akan mempengaruhi lingkungan serta orang di dalamnya ketika menentukan sebuah tujuan.
Hal ini karena setiap individu yang hidup dalam kelompok masyarakat tidak membuat budaya sendiri, dia dibentuk dari budaya yang berkembang di lingkungan di mana dirinya tumbuh.
Pada kenyataannya sebuah kebudayaan yang besar tidak muncul secara tiba-tiba. Untuk dapat menjadi suatu entitas yang kompleks, sebuah kebudayaan lahir dengan beberapa tahapan.
Tahapan-tahapan yang dilalui oleh suatu kebudayaan setidaknya ada tiga fase.
Tahap pertama sampai dengan ketiga berturut-turut disebut sebagai tahap mitis, ontologis, serta fungsional.
Pada tahap mitis, segala macam realitas yang terjadi di dalam sebuah masyarakat akan disandarkan pada entitas metafisika.
Sedangkan pada tahap ontologis, realitas metafisika yang serba rahasia tersebut oleh masyarakat setempat dicoba untuk dipahami.
Upaya ini dilakukan untuk mengurangi ketergantungan terhadap realitas gaib tersebut.
Pada tahap fungsional masyarakat setempat berusaha mencari keterkaitan antara hal ghaib tersebut dengan realitas yang ada.
Kemudian menggunakan realitas metafisis tersebut untuk menunjang aktivitas mereka.
Kehidupan Manusia Melalui Simbol Jalan di Keraton Yogyakarta
Empat jalan utama dari Tugu Golong Gilig sampai dengan Keraton Yogyakarta (Jalan Margautama, Jalan Malioboro, Jalan Margamulya, dan Jalan Pangurakan) adalah salah satu dari beberapa bagian dari Sumbu Filosofis Keraton Yogyakarta.
Dalam konteks inilah empat jalan tersebut dipahami sebagai sebuah simbolisasi dari perjalanan seorang manusia dewasa dalam upaya mendekatkan diri kepada Sang Pencipta, yaitu Allah SWT.
Baik nama jalan, kompleks bangunan, sampai dengan vegetasi yang ada di sekitar area Tugu Golong Gilig hingga Keraton Yogyakarta adalah merujuk pada bagaimana seharusnya manusia bergerak.
Hal ini menunjukkan bahwa sebuah kebudayaan bukan saja hanya berupa sebuah konsep abstrak yang tidak berwujud.
Sebuah kebudayaan justru bisa termanifestasikan ke dalam berbagai lini kehidupan sekelompok manusia.
Wujud kebudayaan dapat mengalir dari sebuah gagasan lalu bergerak menjadi sebuah perilaku.
Kesemuanya itu pada ujungnya nanti akan berhenti pada sebuah benda, yang merupakan manifestasi dari hasil akhir kebudayaan.
Sehingga bisa dikatakan bahwa benda adalah dapat menjadi sebuah deskripsi dari satu kebudayaan yang hidup.
Merujuk pada hal di atas, empat jalan dari Tugu Golong Gilig sampai dengan Keraton Yogyakarta (Margautama, Malioboro, Margamulya, dan Pangurakan) adalah menyangkut Konsep falsafah Jawa dari Paraning Dumadi.
Di dalam konsep Sangkan Paraning Dumadi, kita akan menjumpai istilah paraning dumadi.
Istilah ini diartikan sebagai upaya manusia Jawa ketika telah mengenal siapa jati dirinya, manusia tersebut akan berupaya untuk kembali kepada tempat mereka berasal.
Manusia Jawa meyakini bahwa dirinya berada di bumi karena kehendak Sang Pencipta serta dari Sang Pencipta-lah dirinya berasal.
Untuk itulah setelah menjalani kehidupan di bumi, seorang manusia sudah semestinya harus kembali kepada pemiliknya yaitu Sang Pencipta, Allah SWT.
Upaya manusia Jawa untuk mendekat kepada Sang Pencipta tidak dapat dilakukan dengan sekali langkah.
Diperlukan beberapa tahapan atau fase agar manusia tersebut bisa mendekat kepada Sang Pencipta.
Tahapan-tahapan tersebutlah yang kemudian disimbolkan dengan menggunakan jalan sepanjang Tugu Golong Gilig sampai dengan Keraton Yogyakarta.
Sumbu Filosofis Keraton Yogyakarta Sebagai Warisan Budaya Dunia
Pada tataran fungsional ini empat jalan yang masuk ke dalam salah satu titik di dalam Sumbu Filosofis Keraton Yogyakarta, telah dipahami sebagai salah satu hasil kebudayaan yang mengandung banyak unsur ajaran keagamaan.
Bahkan beberapa kompleks yang menjadi salah satu titik pada Sumbu Filosofis tersebut dijadikan sebagai objek wisata di Yogyakarta.
Misalnya saja kompleks Keraton Yogyakarta, Panggung Krapyak, dan area sepanjang Jalan Maliaboro.
Empat jalan utama sepanjang Tugu Golong Gilig menuju Keraton Yogyakarta yang menjadi wilayah keramaian, kini menjadi salah satu destinasi pariwisata yang tidak bisa dilewatkan.
Bahkan ada pernyataan bahwa jika belum ke Malioboro, berarti belum bisa disebut pergi ke Yogyakarta.
Karena adanya potensi bisnis, kemudian jalan-jalan ini pun dijadikan sebagai lokasi keramaian salah satu destinasi wisata di Yogyakarta.
Banyak pihak-pihak yang kemudian menggunakan ruas sepanjang jalan dari Tugu Yogyakarta sampai dengan Keraton Yogyakarta sebagai wilayah bisnis.
Jalan Margautama sampai dengan Jalan Pangurakan tidak lagi hanya difungsikan sebagai suatu arsitektur dakwah Keislaman, tetapi difungsikan pula sebagai sebuah wujud kebudayaan Yogyakarta.
Atas dasar inilah Pemerintah Provinsi Yogyakarta mengusulkan bahwa Sumbu Filosofis Keraton Yogyakarta menjadi satu warisan kebudayaan dunia ke UNESCO.
Upaya ini dilakukan karena konsep tata ruang di Kasultanan Yogyakarta yang mengandung banyak nilai-nilai filosofis tidak ditemukan di tempat-tempat lainnya.
Sehingga untuk menjaga kelestarian tata ruang tersebut dan agar masyarakat luas di berbagai belahan dunia paham bahwa Keraton Yogyakarta memiliki konsep tata ruang yang tidak ditemukan di tempat lain.
Dengan begitu peninggalan leluhur berupa tata ruang ini bisa tetap dan dilestarikan.
Terdapat 3 tahap terbentuknya suatu kebudayaan yaitu tahap mitis, ontologis, dan fungsional.
Hal ini juga berlaku pada kebudayaan melalui sumbu filosofis Keraton Yogyakarta yang saat ini sudah berada pada tahap fungsional.
Referensi
Permadi, D.P. (2024). Empat Jalan Menuju Ketuhanan: Memahami Sumbu Filosofis Keraton Yogyakarta Dalam Perspektif Filsafat Kebudayaan. NUANSA: Jurnal Penelitian Ilmu Sosial dan Keagamaan Islam, 21 (1), 1-20.
Penulis: Fauzan Ansori, Mahasiswa Teknologi Pendidikan UNNES sekaligus penggemar keluarga Keraton Yogyakarta.
Posting Komentar