Peran dan Kepemimpinan Sri Sultan Hamengkubuwana IX Terhadap Kedaulatan NKRI di Awal Kemerdekaan
YOGYAKARTA, BABAD.ID | Stori Loka Jawa - Sri Sultan Hamengkubuwana IX adalah salah satu tokoh penting dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Perannya tidak hanya terbatas pada memimpin Kasultanan Yogyakarta, tetapi juga meluas hingga menjadi penjaga kedaulatan Indonesia.
Melalui berbagai langkah strategis dan diplomasi yang cerdik, Sri Sultan Hamengkubuwana IX berkontribusi besar dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Amanat 5 September 1945
Menurut Trisiwi, Subaryana dan Mardikun (2020), dalam kajiaannya Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, Sultan Hamengku Buwono IX langsung mengambil langkah tegas dengan mengeluarkan amanat pada 5 September 1945.
Isi amanat tersebut menyatakan bahwa Kasultanan Yogyakarta merupakan bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan kedudukan Daerah Istimewa.
Keputusan ini diambil setelah melihat antusiasme rakyat Yogyakarta menyambut kemerdekaan dan atas persetujuan Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID).
Adapun atas dasar partisipasi serta aspirasi dari rakyat, dibentuklah Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID). Sri Sultan Hamengkubuwana IX mengadakan pembicaraan penting dengan tokoh KNID seperti Paku Alam VIII, Ki Hajar Dewantara, dan Purwokusumo.
Baca Juga: Peran Sri Sultan Hamengkubuwana IX dalam Bidang Sosial dan Politik Tahun 1945-1950
Pemindahan Ibu Kota ke Yogyakarta
Situasi Jakarta yang semakin tidak kondusif akibat kedatangan pasukan Sekutu dan Netherlands Indies Civil Administration (NICA) memaksa pemerintah memindahkan ibu kota ke Yogyakarta.
Wakil Menteri Penerangan Mr. Ali Sastroamidjojo menyampaikan melalui Radio Republik Indonesia (RRI) Yogyakarta bahwa pemindahan ini dilakukan untuk menjamin keamanan pemerintahan dan mempercepat proses penyempurnaan organisasi negara (Poeponegoro dan Notosusanto, 1993:122)
Baca Juga: Pandangan Budaya Sri Sultan Hamengkubuwana IX Selama Memimpin Keraton Yogyakarta
Serangan Umum 1 Maret 1949
Dalam kajian Trisiwi, Subaryana dan Mardikun (2020) juga menerangkan bahwa Raja Jogja ke-sembilan itu juga memainkan peran penting dalam mempertahankan kota Yogyakarta dari serangan Belanda.
Beliau menginisiasi Serangan Umum 1 Maret 1949, dengan menunjuk Letkol Suharto sebagai komandan operasi.
Sultan juga mengirim surat kepada Jenderal Sudirman melalui sekretarisnya, Selo Soemardjan, agar tentara melakukan show of force untuk menunjukkan eksistensi perjuangan Indonesia di mata internasional.
Kemudian, pada pertemuan di kompleks Keraton sekitar tanggal 13 Februari 1949, Sri Sultan membicarakan mengenai serangan umum dan menanyakan kesanggupan Letkol Suharto untuk mempersiapkan serangan tersebut dalam waktu dua minggu.
Komandan gerilya itu menyatakan kesanggupannya. Melalui sekretarisnya, Selo Soemardjan, Sultan mengirim surat kepada Jenderal Sudirman agar tentara melakukan show of force.
Belanda merasa terjebak dalam serangan mendadak tanpa persiapan yang memadai, dan hanya bisa bertahan di markas-markas yang sudah ada.
Meskipun serangan bisa dikatakan berhasil, Sri Sultan tidak ingin mengambil risiko lebih lanjut.
Dengan datangnya bala bantuan Belanda, Sultan khawatir akan memakan banyak korban dari pihak Serangan Umum 1 Maret. Oleh karena itu, semua pasukan harus ditarik mundur saat itu juga.
Perjuangan Diplomasi
Perjuangan diplomasi juga tidak luput dari peran Sri Sultan Hamengkubuwana IX.
Setelah Perjanjian Rum-Rojen, beliau diangkat menjadi Menteri Koordinator Keamanan RI pada 1 Mei 1949 dan bertanggung jawab mempersiapkan Yogyakarta menyambut kembalinya pemerintah RI.
Pada 27 Desember 1949, Sri Sultan mewakili Indonesia dalam upacara penyerahan kedaulatan di Jakarta dari Belanda, sementara di Amsterdam diwakili oleh PM Moh. Hatta (Trisiwi, Subaryana dan Mardikun 2020)
Upacara ini menandai pengakuan resmi kemerdekaan Indonesia oleh Belanda, baik secara de facto maupun de jure.
Dengan ditandatanganinya naskah penyerahan kedaulatan tersebut, bangsa Belanda telah mengakui kemerdekaan Indonesia, baik secara de facto maupun de jure.
Upacara ini dilaksanakan di dua tempat, di Amsterdam dari pemerintah Belanda kepada pemerintah RIS yang diwakili oleh PM Moh. Hatta dan di Jakarta oleh AHJ. Lovink kepada Sri Sultan.
Baca Juga: Peran Sri Sultan Hamengkubuwana IX dalam Bidang Militer Tahun 1945-1950
Peran dan Kepemimpinan
Sri Sultan Hamengkubuwana IX tidak hanya berperan dalam bidang militer, tetapi juga dalam bidang diplomasi yang krusial bagi Indonesia.
Upaya dan pengorbanannya dalam menjaga kedaulatan negara patut dihargai sebagai warisan penting dalam sejarah Indonesia.
Melalui berbagai langkah strategis, Sri Sultan telah menunjukkan kepemimpinan yang luar biasa dan dedikasi yang tak kenal lelah dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Sebagai pemimpin yang visioner, beliau melihat pentingnya mempertahankan Yogyakarta sebagai kota strategis dalam perjuangan melawan penjajah.
Beliau tidak hanya memikirkan taktik militer tetapi juga diplomasi untuk meraih dukungan internasional. Ini terlihat dari perannya dalam mengkoordinasikan serangan dan mengirim surat kepada Jenderal Sudirman untuk memastikan dukungan penuh dalam perjuangan.
Selain itu, Sultan HB IX menunjukkan kepemimpinan yang tegas dan bijaksana dalam mengelola situasi krisis.
Beliau memahami bahwa mempertahankan moral dan semangat juang adalah kunci untuk meraih kemenangan. Oleh karena itu, serangan mendadak yang diinisiasi oleh Sultan menjadi titik balik dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Baca Juga: Sri Sultan Hamengkubuwana IX: Sultan Penopang Berjayanya Republik Indonesia
Kesimpulan
Sri Sultan Hamengkubuwana IX telah membuktikan dirinya sebagai tokoh kunci dalam mempertahankan kedaulatan NKRI melalui berbagai peran strategisnya, dari pemimpin daerah hingga negarawan di tingkat nasional.
Upaya dan pengorbanannya dalam menjaga kedaulatan negara patut dihargai sebagai warisan penting dalam sejarah Indonesia.
Referensi
RINONTJE: Jurnal Pendidikan dan Penelitian Sejarah Vol. 1 No. 1. (April, 2020), dengan judul "PEMIKIRAN SULTAN HAMENGKU BUWONO IX TERHADAP NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA" oleh Ganjar Trisiwi, Subaryana, dan Mardikun
Poeponegoro M.D dan Notosusanto N. (1993). Sejarah Nasional Indonesia Jilid VI Jakarta: Balai Pustaka.
Atribusi : Rian Aryandani, Mahasiswa Teknologi Pendidikan UNNES
Posting Komentar