Benarkah Bangunan Rumah Adat Joglo Yogyakarta dan Surakarta Itu Berbeda? Begini Penjelasannya

Daftar Isi

YOGYAKARTA, BABAD.ID | Stori Loka Jawa – Seperti yang kita ketahui bersama bahwa Yogyakarta kaya akan seni dan budaya, terutama budaya Jawa. 

Ada banyak tujuan wisata yang dapat dijelajahi tentang budaya Jawa seperti Keraton Yogyakarta, Alun-Alun Kidul, Lor dan museum. 

Membicarakan tentang Yogyakarta, masih banyak ditemukan budaya Jawa mulai dari peradaban Jawa kuno, situs bersejarah, kearifan lokal, keramahan masyarakat, jajanan tradisional dan masih banyak lagi.

Salah satu aspek budaya Jawa yang tersisa yang sering kita lihat adalah rumah adat. Di wilayah Yogyakarta terdapat rumah adat yang disebut “Rumah Adat Joglo”. 

Rumah adat ini tidak hanya ada di Yogyakarta, namun juga terjadi di beberapa daerah di Jawa Tengah, seperti di Solo, Kudus, Jepara, dan daerah lainnya.

Namun, bentuk rumah Joglo di setiap daerah memiliki perbedaan. Berikut ini merupakan perbedaan rumah adat Joglo Yogyakarta dengan Surakarta.

Baca Juga: 20 Contoh Kalimat Bahasa Jawa yang Ditulis Menggunakan Aksara Jawa dengan Tema Rumah Joglo


Filosofi Rumah Joglo

Rumah adat Joglo memiliki keunikan yang khas masing-masing, dilihat dari segi bentuk, arsitektur, bahan, filosofi, dan jenisnya.

Dikutip dari website budaya.jogjaprov.id yang berjudul “Rumah Adat Joglo”, rumah adat ini mempunyai keunikan tersendiri yang membedakan dengan rumah adat lain di Indonesia.

Ciri khasnya terletak pada bentuk atapnya. Bentuk bangunannya menyerupai tajug dengan atap joglo menyerupai gunung. Atap rumah Joglo merupakan gabungan dua atap segitiga dan dua atap trapesium. 

Atap memiliki berbagai sudut kemiringan. Atap joglo selalu berada di tengah dan dikelilingi oleh atap-atap lainnya. Rumah Joglo ini berbentuk persegi dengan empat tiang di tengahnya. 

Pilar itu disebut Sakaguru. Selain itu, ada bilah dukungan. Seiring berjalannya waktu, semakin banyak ruangan yang ditambahkan pada Rumah Joglo. Namun, luas lantai rumah tetap persegi. 

Rumah adat Joglo terdiri dari dua kata yakni "tajung" dan "loro", yang berarti gabungan dua tanjung. Tagjug sendiri sekarang memiliki bentuk atap piramida. 

Masyarakat Jawa sendiri memilih Tajug sebagai model atap rumah mereka karena bentuknya menyerupai gunung. Pada zaman dahulu, gunung dianggap sebagai tempat suci oleh orang-orang saat itu. 

Filosofi rumah Joglo tradisional adalah fondasi utamanya menopang semua bagian bangunan. Teras biasanya luas dan tidak terbagi, memungkinkan tetangga untuk bersosialisasi dan berinteraksi dengan masyarakat setempat. 

Setiap hunian Joglo juga dilengkapi sejumlah jendela besar. Pintu rumah Joglo biasanya terletak di tengah ruangan. Filosofinya adalah untuk mengekspresikan keharmonisan dan keterbukaan antara pemilik rumah dan orang lain. 

Rumah ini memiliki pagar bekisting yang terbuat dari semak-semak yang tingginya tidak sampai 1 meter. Idenya adalah untuk meningkatkan interaksi dengan penduduk lokal. 

Setiap rumah Joglo selalu mencerminkan status sosial pemiliknya. Hal ini karena biaya produksinya mahal dan karenanya berfungsi sebagai ekspresi status sosial ekonomi pemilik rumah yang termasuk kelas menengah ke atas.

Baca Juga: Rumah Joglo, Manifestasi Kearifan Lokal Jawa yang Terus Bertahan di Tengah Modernisasi


Rumah Tradisional Yogyakarta

Dikutip dari website budaya.jogjaprov.go.id yang berjudul “Mengenal Bangunan Berarsitektur Tradisional Jawa. Jenis Bangunan Menurut Bentuknya: Tajug, Joglo, Limasan dan Kampung”, bangunan joglo di Yogyakarta terbagi menjadi beberapa jenis.

Jika dilihat dari atapnya, joglo terbagi menjadi 4 jenis. Awalnya, bentuk Taj atau Taju (bahasa Arab untuk mahkota) digunakan sebagai panduan. Kata ini lebih dikenal dengan istilah Tajug. 

Tajug yaitu bangunan dengan atap pelana mempunyai denah persegi dengan keempat sisinya sama panjang. Tipe kedua adalah Joglo, yang berasal dari kata Jug-loro, atau Tajug-loro, yang berarti dua Tajug.

Hal ini karena atap berbentuk Joglo sebenarnya merupakan dua atap Tajug yang disambung menjadi satu. Bangunan Jag Roro terdiri dari deretan balok kayu (balungan) di tengahnya, yang disebut gajah.

Dari rumah ini muncul bentuk lain, berukuran dua kali lipat di sisi panjang dan pendek. Sisi panjangnya kemudian akan dibagi menjadi tiga dan sisi pendeknya tidak akan terbagi. Namanya diubah menjadi "Gajah-sap", yang berarti "gajah ganda". 

Karena kata gajah memiliki arti yang sama dengan liman, istilah tersebut dikenal sebagai "liman-sap" tetapi kemudian diubah menjadi "limasan". 

Dimulai dari ketiga bentuk tersebut, seiring berjalannya waktu muncul berbagai bentuk lain melalui perubahan pada perabot dan bagian-bagian perabot. 

Transformasi ini akhirnya menghasilkan struktur seperti desa. Kata “kampung” konon berasal dari kata “kapung” atau “katepung” yang artinya “berhubungan”. 

Untuk menyederhanakan konstruksi rumah, cukup dengan menghubungkan dua bidang atap dan membuang aksesoris kayu lainnya dari tiga bentuk sebelumnya.

Menurut naskah-naskah pada rumah-rumah arsitektur Jawa (baik kelompok Kawruh Griya maupun Kawruh Kalang), masing-masing bentuk arsitektur tersebut mempunyai beberapa jenis atau variasi, seperti,

  1. Pada bentuk atap tajug terdiri dari Tajug dan Langgar
  2. Pada bentuk atap joglo terdiri dari Kepuhan, Pangrawit, Trajumas, Wantah, Ceblokan, Tawon boni, dan Semar tinandhu
  3. Pada bentuk atap limasan terdiri dari Nom, Sinom, Kampung bali, Bapangan, Klabang nyander, Trajumas, Gajah ngombe, Gajah mungkur, Pacul gowang, Semar tinandhu, dan Srotongan
  4. Pada atap kampung terdiri dari Nom, Srotongan, Dara gepak, Jompongan, Gajah ngombe, Trajumas, Pacul gowang, Semar tinandhu, dan Gedhang salirang.

Salah satu rumah adat Joglo di wilayah Yogyakarta yang masih banyak berdiri berada di daerah Kotagede. Joglonya mempunyai kekhasan tersendiri yang tidak ditemukan pada rumah Joglo tradisional di tempat lain. 

Rumah Joglo tradisional di Kotagede memiliki rangka penyangga yang disebut bahu danyan. Konsol ini memiliki ukiran dan bentuk yang unik dibandingkan konsol Joglo pada umumnya.

Kotagede didirikan pada awal abad ke-16 sebagai ibu kota pertama Kerajaan Mataram. Pundak Dangyang ini dengan ukirannya yang amat indah merupakan tumpuan khas Kotagede.

Namun, sejak masuknya pengaruh Eropa oleh penjajah pada masa pra-kemerdekaan Indonesia, Bahu Dhanyang telah digantikan oleh konsol besi di beberapa rumah Joglo tradisional di Kotagede. 

Konsol besi ini terbuat dari besi dan memiliki berbagai bentuk dan ukiran. Namun hal ini tidak perlu dikhawatirkan karena pada rumah adat Joglo Kotagede, Bahu Dhanyang masih berfungsi sebagai penopang atap dan tiang. 

Hal ini pun menjadi suatu kebanggaan tersendiri bagi masyarakat Kotagede yang dikenal mampu menjaga dan melestarikan budaya leluhurnya sejak berdirinya daerah tersebut hingga saat ini.

Baca Juga: Memiliki Atap Unik, Mari Mengenal Joglo Bucu, Rumah Tradisional Ponorogo yang Jarang Diketahui


Rumah Tradisional Surakarta

Sedikit berbeda dengan Rumah Adat Joglo khas Yogyakarta, dikutip dari artikel Filia Mutiara Sari yang berjudul “Perbandingan Rumah Tinggal Tradisional Jawa dan Rumah Tinggal Modern di Surakarta”, rumah adat joglo di Suarakarta memiliki bangunan pendopo segi empat atau segi panjang.

Joglo di Suarakarta semua sisinya disambung dengan emper. Setiap empernya dibuatkan kuncung atau atap yang menonjol dengan tujuan agar kendaraan dapat berhenti merapat di depan pendopo.

Hal ini ditujukan agar penumpang yang turun dari kendaraan dapat langsung masuk ke pendopo. Pendopo merupakan bangunan yang terbuka yang sering digunakan untuk menerima tamu resmi, pertemuan, atau pesta.

Adapun lantai pendopo diperkirakan 40 sampai 50 cm lebih tinggi dari pada lantai emper. Pada prinsipnya, bangunan joglo terdiri dari beberapa bangunan yaitu.

  1. Pendopo, yang berfungsi sebagai tempat melakukan aktivitas yang sifatnya formal. Pendopo ini terletak dibagian depan dan bukan merupakan ruang penerima yang mengantar orang sebelum memasuki rumah.
  2. Pringgitan, yaitu lorong penghubung antara pendopo dengan omah njero. Bagian ini sering berfungsi sebagai tempat pertunjukan wayang kulit atau keseian ataupun kegiatan publik.
  3. Emperan, yang merupakan teras depan dari bagian omah-njero yang memiliki lebar sekitar 2 meter. Emperan sering digunakan sebagai tempat melakukan kegiatan umum yang sifatnya non-formal
  4. Omah njero, yang memiliki nama lain omah-mburi, dalem ageng, atau omah. Omah ini digunakan sebagai istilah yang mencakup arti domestik. Maksudnya adalah tempat yang digunakan sebagai tempat tinggal.
  5. Senthong kiwa, yang digunakan sebagai tempat tidur keluarga atau penyimpanan beras
  6. Senthong tengah (krobongan), yang merupakan bangunan paling dalam, paling jauh dari luar dan menjadi pusat dari seluruh bagian rumah. Bagian ini difungsikan sebagai tempat pelaksanaan upacara atau ritual keluarga, dan menjadi tempat penyimpanan benda pusaka.
  7. Senthong tengen, yang berfungsi sama seperti dengan senthong kiwa
  8. Gandhok, yang merupakan bangunan tambahan yang mengitari sisi samping dan belakang bangunan.

Baca Juga: Mengungkap Makna Keislaman dalam Desain Rumah Adat Joglo Pencu Kudus


Kesimpulan

Yogyakarta dan Jawa Tengah memiliki rumah adat yang bernama “Joglo”.

Joglo merupakan bangunan atau rumah khas Jawa yang atapnya berbentuk menyerupai trapeium, bagian tengahnya menjulang ke atas berbentuk limas.

Joglo berasal dari kata Tajug Loro “Juglo” yang artinya dua gunung. Menurut filosofinya, gunung dianggap sebagai tempat yang tinggi dan sakral. 

Pada prinsipnya, bangunan Joglo di Yogyakarta dan Solo tidak memiliki perbedaan yang signifikan karena keduanya merupakan rumah adat yang sama.


Referensi

Museum. 2022. Rumah Adat Joglo. https://budaya.jogjaprov.go.id/berita/detail/1065-rumah-adat-joglo - diakses pada 7 Januari 2025.

Pamongbudaya. 2021. Mengenal Bangunan Berarsitektur Tradisional Jawa. Jenis Bangunan Menurut Bentuknya : Tajug, Joglo, Limasan dan Kampung. https://budaya.jogjaprov.go.id/artikel/detail/Mengenal-Bangunan-Berarsitektur-Tradisional-Jawa-Jenis-Bangunan-Menurut-Bentuknya-Tajug-Joglo-Limasan-dan-Kampung - diakses pada 7 Januari 2025.

Sari, F. M., & Mutiari, D. (2014). Perbandingan rumah tinggal tradisional Jawa dan rumah tinggal modern di Surakarta. Sinektika: Jurnal Arsitektur14(2), 217-224.


 

Penulis: Laila Immatun Nissak, Mahasiswa Pendidikan berdarah Jawa yang menyukai Yogyakarta dan seisinya 

babad.id | Stori Loka Jawa
babad.id | Stori Loka Jawa babad.id | Stori Loka Jawa merupakan media online berbasis multimedia dengan konten utama seputar seni, budaya dan sejarah Jawa. Babad.id juga membuka ruang opini kepada penulis lepas.

Posting Komentar