Mengenal Malam Selikuran: Tradisi Sakral Menyambut Lailatul Qadar di Kulon Progo, Yogyakarta
BABAD.ID | Stori Loka Jawa – Kulon Progo, sebuah kabupaten di Daerah Istimewa Yogyakarta, memiliki kekayaan budaya yang masih lestari hingga kini.
Salah satu tradisi unik yang terus dijaga oleh masyarakat setempat adalah Malam Selikuran, sebuah ritual sakral yang dilaksanakan pada malam ke-21 bulan Ramadan sebagai bentuk rasa syukur dalam menanti datangnya Lailatul Qadar.
Dalam tradisi ini, masyarakat berkumpul untuk berdoa bersama dan melaksanakan berbagai ritual keagamaan.
Salah satu ciri khas dari Tradisi Malam Selikuran adalah penggunaan sesajen yang terdiri dari berbagai tumbuhan dan makanan khas.
Sesajen ini dipercaya memiliki makna simbolis yang mendalam bagi masyarakat yang menjalankannya.
Baca Juga: Mengenal Tradisi Megengan: Akulturasi Budaya Jawa dan Islam dalam Penyambutan Ramadhan
Salah satu sesajen utama dalam tradisi ini adalah kembang boreh, yang terdiri dari berbagai jenis bunga seperti pandan, melati, kenanga, mawar merah, dan mawar putih.
Bunga-bunga ini memiliki makna spiritual, seperti kenanga yang melambangkan pengingat akan kehidupan setelah mati dan kantil yang bermakna berzikir kepada Allah dalam setiap waktu.
Selain itu, masyarakat juga menyediakan kinang, yaitu sirih yang dibungkus dengan daun pisang serta dicampur dengan gambir dan enjet.
Kinang memiliki makna filosofi tentang pentingnya memahami dan mengerti ajaran kehidupan.
Selain itu, juga terdapat rokok asapan, yang terdiri dari tembakau, garet, cengkih, dan kemenyan, yang melambangkan kebersihan hati dalam beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah.
Makna Simbolik dalam Tradisi Malam Selikuran
Tradisi ini tidak hanya sekadar ritual keagamaan, tetapi juga memiliki nilai filosofis dan sosial yang dalam.
Sesajen yang digunakan dalam Malam Selikuran mencerminkan harapan dan doa masyarakat kepada Allah SWT.
Misalnya, makanan khas seperti pento klotak, pento empuk, kemplang, trempos, dan sambal gepleng yang terbuat dari singkong dan jagung, merupakan simbol kesederhanaan dan pengingat akan makanan pokok leluhur.
Selain itu, nasi tumpeng dalam tradisi ini melambangkan permintaan yang lurus ke atas sebagai wujud doa kepada Allah.
Baca Juga: Mengenal Apa Itu Tradisi Yasa Peksi Burak: Peringatan Isra Miraj di Keraton Yogyakarta
Sedangkan minuman wedang yang disajikan merupakan simbol penghormatan kepada para leluhur.
Daun sirih, cengkih, dan tembakau yang digunakan dalam sesajen juga memiliki arti penting dalam kehidupan, mengajarkan untuk selalu memperhatikan perbuatan baik dan buruk selama hidup di dunia.
Kesimpulan
Tradisi Malam Selikuran merupakan salah satu bentuk warisan budaya yang masih dilestarikan hingga saat ini.
Dengan berbagai sesajen dan ritual yang dilakukan, tradisi ini tidak hanya menjadi sarana untuk menyambut malam Lailatul Qadar, tetapi juga sebagai pengingat akan nilai-nilai kehidupan, kebersamaan, dan spiritualitas dalam masyarakat.
Melestarikan tradisi ini berarti menjaga kearifan lokal serta memperkuat hubungan dengan Sang Pencipta dan sesama manusia.
Sumber
Rizki Zulfaningrum, Hendro Kusumo Eko P. M. 2023. Penyusunan E-Booklet Sebagai Sumber Belajar Kelas X Materi Plantae Dari Penelitian Etnobotani Tradisi Malam Selikuran Di Kawasan Dewi Tinalah Kulon Progo. Journal of Comprehensive Science Vol. 2 No. 2
Posting Komentar