Menelisik Makna 'Nrima Ing Pandum' di Tengah Kebiasaan Pamer Kesuksesan di Media Sosial
![]() |
Ilustrasi wong Jawa di era kini (unsplash.com/enji_10) |
Penulis: Angga Saputra manusia sederhana, harapan orangtua
Dalam kehidupan masyarakat Jawa, filosofi hidup sering kali menjadi penuntun dalam bersikap dan menjalani keseharian.
Salah satu nilai luhur yang kerap dijadikan pegangan adalah "nrima ing pandum". Ungkapan ini secara harfiah berarti menerima bagian atau takdir yang diberikan oleh Tuhan dengan lapang dada.
Namun, di era modern yang penuh dengan hiruk-pikuk pencapaian, gelar, pencitraan, dan media sosial yang menampilkan kemewahan hidup seolah menjadi norma, makna "nrimo ing pandum" terasa semakin kabur. Bahkan tak jarang, dianggap sebagai bentuk kemunduran atau kepasrahan yang pasif.
Padahal, jika ditilik lebih dalam, nilai "nrima ing pandum" bukan sekadar menyerah pada nasib. Ia merupakan bentuk kedewasaan dalam memaknai kehidupan.
Orang yang menghayati prinsip ini tidak serta merta berhenti berusaha, tetapi memahami batas antara ikhtiar dan hasil.
Ia sadar bahwa ada hal-hal yang bisa diupayakan, dan ada pula yang di luar kendali manusia. Justru di situlah letak keluhuran "nrima ing pandum": menerima tanpa kehilangan semangat.
Sayangnya, nilai ini kini terpinggirkan oleh budaya pamer yang sangat kuat di ruang digital.
Media sosial menjadi etalase kesuksesan. Foto liburan ke luar negeri, unggahan tentang pekerjaan bergaji besar, rumah baru, atau gelar pendidikan tinggi sering kali menciptakan standar kesuksesan yang seragam dan membebani. Tak ada tempat bagi mereka yang hidup biasa-biasa saja.
Seseorang yang memilih hidup sederhana dan bersyukur dengan pencapaiannya dianggap tidak ambisius. Mereka yang menerapkan "nrimo ing pandum" malah dicap sebagai pemalas atau tidak visioner.
Tekanan ini terasa lebih kuat bagi generasi muda yang hidup di persimpangan budaya.
Di satu sisi, mereka mewarisi nilai-nilai luhur dari orang tua dan leluhur mereka. Di sisi lain, mereka harus berhadapan dengan dunia yang menuntut validasi dari angka-angka: jumlah pengikut, likes, gaji, atau properti.
Konflik batin pun muncul. Sering kali, mereka terjebak dalam ambisi semu hanya demi pengakuan, bukan karena benar-benar membutuhkannya.
Di tengah tekanan itu, "nrima ing pandum" bisa menjadi pelindung jiwa. Ia mengajarkan manusia untuk tidak terjebak dalam perlombaan tanpa ujung.
Filosofi ini menjadi jangkar yang menjaga seseorang tetap waras di tengah ombak ekspektasi sosial.
Ia menuntun seseorang untuk mengenal dirinya, memahami kekuatan dan keterbatasan, serta mencintai kehidupan apa adanya, tanpa harus membandingkan.
Namun bukan berarti filosofi ini antikritik atau menolak kemajuan. Justru sebaliknya, "nrima ing pandum" mengajarkan keseimbangan.
Berusaha semaksimal mungkin, lalu berserah dengan lapang dada. Ia mencegah seseorang dari keputusasaan ketika hasil tak sesuai rencana. Ia juga menghindarkan dari kesombongan saat sukses diraih.
Dalam praktiknya, "nrima ing pandum" bisa diwujudkan dalam bentuk syukur, hidup secukupnya, dan menghargai proses.
Seorang petani yang tetap tekun bercocok tanam meski hasil panen tak selalu melimpah, seorang guru honorer yang tetap semangat mengajar walau penghasilan terbatas, atau pedagang kecil yang tetap tersenyum meski dagangannya tak laku—semua adalah wujud nyata "nrimo ing pandum".
Tentu saja, ini bukan seruan untuk menerima ketidakadilan atau diam menghadapi ketimpangan. Prinsip ini bukan alat pembenaran bagi struktur sosial yang timpang.
Tapi justru menjadi penyeimbang, agar dalam perjuangan meraih keadilan dan kesejahteraan, kita tidak kehilangan esensi kemanusiaan: rasa cukup, sabar, dan ikhlas.
Sudah saatnya kita melihat kembali nilai-nilai lokal seperti "nrima ing pandum" sebagai kekayaan batin yang relevan di era digital.
Di saat algoritma memicu iri dan kompetisi tak sehat, prinsip ini menawarkan ruang damai dalam diri. Bahwa sukses bukan hanya milik mereka yang terlihat paling bersinar, tapi juga milik mereka yang paling tenang menjalani hidupnya.
Mungkin sudah waktunya kita berhenti sejenak, menoleh pada warisan bijak ini, dan bertanya: "Apakah aku hidup untuk membuktikan sesuatu ke dunia, atau cukup hidup untuk memahami diriku sendiri?"
Karena pada akhirnya, yang paling bahagia bukanlah yang punya segalanya, tapi yang tahu kapan harus cukup.
Posting Komentar