Mengenal Tradisi Upacara Tarapan yang Masih Dilakukan para Putri Keraton Yogyakarta

Daftar Isi

BABAD.ID | Stori Loka Jawa – Ritual dan tradisi yang dilakukan di Keraton Yogyakarta, sejatinya bertujuan untuk ungkapan syukur, pengharapan, dan sarana untuk melestarikan kebudayaan. 

Sebagai seorang putri Sri Sultan Hamengkubuwana X, Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Hayu dan GKR Bendara dalam podcast Didik Nini Thowok, menyampaikan jika mereka dan kakak-kakaknya selalu ikut dan masih melakukan tradisi dan ritual yang ada.

Mereka mengikuti serangkaian kegiatan tersebut sejak mereka lahir hingga saat ini. Beberapa seperti tradisi terepan, mitoni, tedak siten, tetesan, tradisi minum jamu, puasa sesuai weton, ngebluk, ngapeng, dan lain-lain.

Tradisi Tarapan

Tradisi ini adalah upacara yang dilakukan pada saat seorang putri haid pertama kali. 

Tujuan utamanya adalah untuk melindungi sang anak ketika haid pertama dari ancaman makhluk halus jahat (Iswanti, 2013).  Selain itu juga sebagai pengingat kepada orang tua bahwa puterinya telah beranjak dewasa.

Pelaksanaan dimulai dari ngarso dalem yang menyampaikan kepada seluruh warga keraton kalau sang putri sudah haid. 

Setelah disiapkan segala persiapan, sang putri didampingi oleh ibunda dan mbok emban berjalan menuju Kedhaton Kulon untuk dipingit.

Selama masa pingitan satu minggu, makanan dan minuman akan diantarkan bersamaan dengan perawatan kebersihan oleh sang ibu atau mbok emban. Kegiatan mandi tidak diperbolehkan, hanya dibersihkan dengan jalan mengusapkan air.

Setelah berakhir, sang putri dijemput oleh ibunya, saudara perepmuan, dan diiringi abdi dalem keparak. Ikatan lawe atau ikat rambut dilepas, lalu berjalan menuju pekobongan di Selatan Sekar Kedhaton untuk mandi.

Selesai siraman, diberi jamu mamahan, jamu godhongan, dan telur mentah. Sang putri mengenakan busana kebesaran, bedak boreh, dan diantarkan ke Gedhong Kuning untuk dilakukan upacara ngabekten.

Lurah putri akan menyampaikan bahwa sang putri sudah menyelesaikan upacara tarapan dengan selamat. Kemudian ngarso dalem akan memperintahkan sang putri untuk sungkem kepada baginda yang akan memberikan restunya.

Sri Sultan lalu memberikan jamuan minuman kepada yang hadir di sana, kemudian masuk ke dalam Gedhong Kuning dan sang putri kembali ke wisma kandung sang ibu.

Upacara dikatakan berakhir ketika Lurah Suronoto mengucapkan ujub dan disusul pembacaan doa serta bagi-bagi sajian selamatan atau kenduri.

Perlengkapan Upacara

Upacara tarapan di Keraton Yogyakarta dilaksanakan di pelataran Kedhaton Kulon (Barat), sementara ngabekten dilakukan di Gedhong Kuning. 

Siapa-siapa saja yang diperbolehkan mengikuti upacara tarapan adalah:

  1. Pinisepuh perempuan dan ibu kandung
  2. Abdi dalem keparak
  3. Mbok emban
  4. Saudara Perempuan

Perlengkapan yang dibutuhkan untuk upacara tarapan diantaranya:

  1. Balai yang dialasi tikar atau klasa bangka dari mendhong dengan anyaman yang besar, kemudian diberi alas dengan motif bervariasi, dan kain mori.
  2. Beberapa macam dedauanan yang ditindih dengan klasa bangka
  3. Pisau kecil, kapuk kapas, cowek, dan kunyit

Sementara untuk upacara siraman, perlengkapan yang diperlukan yakni:

  1. Bangku kecil dengan diberi tikar
  2. Air bunga yang direndami dua kelapa utuh
  3. Periuk dari tanah yang berisi air dengan doa
  4. Bulatan dari tepung beras berwarna, dan berjumlah tujuh untuk menggosok badan
  5. Air merang yang dicampur air asam untuk keramas

Pakaian Upacara

Untuk busana yang digunakan oleh putri terdiri atas nyimpeng cindhe, lonthong kamus bludiran, udhet cindhe, slepe, gelangkana, sangsangan sungsun, menggunakan subang, dan cincin. Kain cindhe yang dipakai berbentuk model pinjung.

Sanggul yang dikenakan berbentuk tekuk dengan hiasan pethat gunungan yang diberi bros, lancur, dan peniti renteng di kiri kanan.

Perangkat Sesajen

Perlengkapan sesajian adalah dua perangkat yang sama, yakni untuk ditaruh di depan pekobongan siraman, dan satu lagi ditaruh di depan pekobongan tarapan.

Sajian-sajian tersebut yaitu tumpeng robyong; jajanan pasar yang berupa ketan moncowarno, apem, kolak, ketan, srabi, klepon, clorot, kulpis, lepet, jongkong, dan inthil; polowidjo; wedang bubuk; ayam hidup; dan sesajian bucalan untuk dibuang.

Ritual dan tradisi di Keraton Yogyakarta bertujuan sebagai ungkapan syukur, pengharapan, dan pelestarian budaya.

GKR Hayu dan GKR Bendara mengikuti tradisi ini sejak lahir, termasuk upacara seperti mitoni, tedak siten, dan terepan.

Tradisi terepan, misalnya, dilakukan saat putri mengalami haid pertama untuk melindungi dan menandai kedewasaan.

Upacara melibatkan prosesi pingitan, siraman, hingga sungkeman kepada Sri Sultan.

Setiap tahap memiliki perlengkapan, pakaian khusus, dan sesajen dengan nilai simbolis, mempertegas kedalaman budaya Keraton Yogyakarta.


Referensi:

didikninithowok. (2021, 16 Januari).Cerita Dari Balik Dinding Keraton Ngayogyakarta | GKR Hayu & GKR Bendara x DNT Podcast. [Video]. Youtube. 

Iswanti, S. (2013, April).Upacara Tarapan dalam Budaya Jawa (Suatu Kajian Pendidikan Upaya Pelestarian Kearifan Lokal). Jurnal Penelitian Humaniora, 18(1), 82-91.


Penulis: Nadya Zuhri, mahasiswa Universitas Negeri Semarang yang belajar melestarikan budaya.

 

 

 

 

babad.id | Stori Loka Jawa
babad.id | Stori Loka Jawa babad.id | Stori Loka Jawa merupakan media online berbasis multimedia dengan konten utama seputar seni, budaya dan sejarah Jawa. Babad.id juga membuka ruang opini kepada penulis lepas.

Posting Komentar

📣 Ikuti Tantangan Bulanan "Cerita dari KKN"! 📣

Bagikan pengalaman KKN-mu yang paling berkesan dan menangkan hadiah menarik setiap bulannya! Ini kesempatanmu untuk berbagi cerita inspiratif dan mendapatkan apresiasi.